Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kemiskinan Waktu, Ketika 24 Jam dalam Sehari Tidak Lagi Cukup

27 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 27 Agustus 2025   10:11 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemiskinan tidak selalu tentang kurangnya uang, tetapi bisa juga soal kurangnya waktu | Ilustrasi oleh Markus Kammermann via Pixabay

Baginya, kerja berbayar dan tak berbayar saling menindih; waktu luang hampir selalu nihil. Itu berarti ia kehilangan waktu untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hubungan keluarga merenggang, kesempatan belajar atau berorganisasi lenyap, yang ujung-ujungnya semakin memperparah kemiskinan ekonominya. Tanpa perbaikan nasib, generasi berikutnya akan menapaki jalan cerita yang kurang-lebih sama, sehingga lingkaran setan kemiskinan materi dan kemiskinan waktu ini secara tidak sengaja “diwariskan”.

Gambaran tersebut, di satu sisi, menunjukkan bahwa kemiskinan waktu bisa sama peliknya dengan kemiskinan materi. Selayaknya rumah tangga miskin harus membuat pilihan yang menyakitkan (beli beras atau perlengkapan sekolah, jarang beli beras dan perlengkapan sekolah), orang yang miskin waktu juga dihadapkan pada pilihan pahit. Bekerja 15 jam per hari berarti kehilangan waktu untuk berolahraga; jika memaksakan berolahraga, itu mengakibatkan jam tidur berkurang, dan seterusnya.

Namun, di sisi lain, kemiskinan waktu lebih rumit ketimbang kemiskinan materi dalam satu hal: sementara uang bisa ditingkatkan, mungkin dengan mencari pekerjaan baru, kita tidak pernah bisa menambah jam hidup kita. Uang juga terkadang bisa diperoleh kembali jika hilang; waktu tidak bisa. Sekalinya berlalu, itu hilang selamanya.

Seandainya kemiskinan waktu hanya perkara “kekurangan jam” semata, kita mungkin bisa memalingkan muka darinya. Masalahnya, meskipun lebih sulit dilihat dan diukur dibanding kemiskinan materi, kemiskinan waktu memiliki dampak serius, entah pada tubuh sendiri, lingkungan sosial, dan bahkan kehidupan politik yang lebih luas.

Penelitian menunjukkan betapa mahalnya harga dari kemiskinan waktu. Tatkala jam terasa selalu menekan, tubuh bergulat dengan stres kronis, kecemasan, dan depresi. Konsentrasi buyar, emosi lebih mudah meledak, dan burnout menjadi kondisi default. Efeknya menjalar melalui kemerosotan perilaku atau kebiasaan: kita menunda periksa dokter, makan terburu-buru, melewatkan olahraga, dan menumpuk penyakit yang tak sempat diurus.

Dan di balik semua itu, ada persoalan politik yang jauh lebih besar.

Demokrasi menuntut partisipasi aktif. Ia membutuhkan warga yang punya waktu untuk membaca berita, membandingkan kebijakan, menghadiri musyawarah, atau sesederhana bertukar pikiran dengan sesama warga. Namun, bagaimana mungkin seorang buruh berupah rendah sempat membaca berita jika hari kerjanya merayap hingga larut malam?

Bagaimana mungkin seorang ibu yang harus bekerja di luar dan di dalam rumah, dibayar maupun tidak, mampu memikirkan kebijakan yang akan memengaruhi nasibnya selama beberapa tahun ke depan? Bagaimana mungkin seorang akademisi dituntut mengabdi pada masyarakat, mungkin dengan mengadvokasi program anti-kemiskinan, ketika hari-harinya dibebani kewajiban mengajar dan tugas administratif yang tak berujung?

Erosi tersebut memang tak kasat mata atau menggertak, tetapi dalam jangka panjang sangat menghancurkan. Warga yang kelelahan dan kekurangan waktu hanya bisa berpartisipasi setengah hati: menyimak sekilas visi-misi kandidat, mendasarkan keputusannya pada siapa yang paling sering muncul di beranda media sosial, dan kemudian memilih terburu-buru di kotak suara.

Demokrasi pun mulai layu, bukan karena rakyat apatis, melainkan karena rakyat kekurangan kapasitas temporal. Dan dalam kekosongan ini, daya tarik otoritarianisme menguat. Buat apa menghabiskan berjam-jam rapat di balai kota, atau mendengarkan debat presiden di TV, jika ada sosok tegas nan kuat yang menjanjikan “beres” tanpa “omon-omon” dialog kritis? Tanpa waktu yang cukup, pemilih yang lelah berisiko menyetujui jalan pintas atas nama efisiensi.

Solusi personal jelas penting. Para psikolog menyarankan kita menata ulang prioritas, berani berkata tidak pada komitmen yang tidak perlu, dan menciptakan batas jelas antara kerja dan kehidupan pribadi. Beberapa lainnya menekankan pentingnya mengandalkan support system jika kita kesulitan mencapai keseimbangan, karena mengelola semuanya sekaligus dapat terasa sangat membebani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun