Jam besar di ruang rektorat berhenti tepat pukul sepuluh pagi. Waktu itu, dosen tua masuk untuk menghadiri rapat senat---yang ia tahu tak akan memutuskan apa-apa selain siapa yang boleh bicara dan siapa yang harus diam. Ia perhatikan jarum jam: panjang menunjuk angka dua, pendek menunjuk angka sepuluh. Dan tidak bergerak lagi.
"Jamnya rusak," bisik seorang staf.
"Tidak, Pak Dosen," sahut yang lain. "Jam itu sengaja dihentikan. Supaya semua rapat dimulai dan berakhir di waktu yang sama. Waktu di sini tidak berjalan, hanya berputar."
Dosen tua tersenyum getir. "Lalu bagaimana dengan waktu kampus?"
"Waktu kampus ikut berhenti. Gedungnya bertambah, tapi semangatnya tidak pernah bergeser. Ibarat kita sedang menunggu kereta yang jadwalnya tak berubah sejak sepuluh tahun lalu, meski relnya sudah berkarat."
Di luar jendela, mahasiswa berlalu-lalang. Mereka bergegas menuju kelas, bukan untuk mencari ilmu, tapi untuk mengumpulkan absen. Seperti pekerja pabrik yang takut potong gaji.
Dosen tua menatap jam itu lama sekali. Ia membayangkan jarum-jarumnya sebagai dosen-dosen yang berhenti di satu titik: riset yang hanya dibaca reviewer, pengabdian masyarakat yang jadi laporan, perkuliahan yang diulang tanpa rasa. Dan ia merasa dirinya salah satu jarum itu.
"Apa yang terjadi kalau jam ini diperbaiki?" tanya dosen tua.
"Bisa kacau," kata staf sambil tersenyum. "Kalau waktu berjalan, rapat-rapat mungkin harus mulai tepat waktu. Mungkin ada target yang harus tercapai. Mungkin... kampus harus berubah. Dan perubahan itu, Pak Dosen, lebih menakutkan daripada jam rusak."
Dosen tua tertawa lirih. Ia sadar, jam itu bukan rusak---jam itu jujur. Ia hanya diam, menunggu generasi baru yang berani memutarnya kembali.