Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kemiskinan Waktu, Ketika 24 Jam dalam Sehari Tidak Lagi Cukup

27 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 27 Agustus 2025   10:11 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan biasanya dipahami sebagai kondisi kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan pokok: makanan, pakaian, dan/atau tempat tinggal yang layak. Pemahaman ini wajar, dan bahaya-bahaya yang tersirat di dalamnya tak bisa dinafikan. Namun, ada jenis kemiskinan lain yang selalu luput dari perhatian, bahkan jarang diketahui keberadaannya. Jenis kemiskinan ini bukan terletak pada kurangnya materi, melainkan pada sesuatu yang tak kasat mata - waktu.

Kemiskinan waktu (time poverty) adalah kondisi ketika kita mengemban terlalu banyak hal untuk dilakukan tetapi tidak cukup waktu untuk mengerjakannya. Itu adalah kondisi ketika 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu terasa terlalu pendek. Itu adalah kondisi ketika kita bangun pagi dengan daftar tugas yang panjang, tetapi hari sudah bergulir menuju malam sebelum separuhnya selesai.

Wujud konkretnya mudah dijumpai.

Itu bisa mengacu pada orang tua yang tidak bisa menghadiri acara sekolah anak mereka akibat shift kerja berakhir terlalu larut. Atau, pekerja lepas yang mengorbankan jam tidurnya untuk memenuhi deadline sebelum fajar. Atau, perawat yang siangnya bersama pasien dan malamnya merawat anak-anak di rumah, tanpa ada waktu tersisa untuk dirinya sendiri. Atau, asisten rumah tangga yang seharian penuh membersihkan rumah orang lain, sementara rumahnya sendiri semrawut.

Secara intuitif, kemiskinan waktu tampak seperti masalah “endemik” para profesional kelas menengah atas, yaitu mereka yang punya gaji besar tetapi terperangkap dalam jam kerja panjang dan tekanan karier. Manajer, dokter, pengacara, dan sejenisnya sering dikatakan mengalami “penyakit gaya hidup”, semacam hasil dari pilihan individu yang sibuk mengejar prestasi: kenaikan pangkat, peningkatan penghasilan, pengembangan skill, dan seterusnya.

Namun, realitanya jauh lebih keras. Penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan waktu yang dialami kalangan berada hanyalah puncak dari gunung es. Itu hampir tidak ada apa-apanya dibandingkan kemiskinan waktu di antara kelompok ekonomi terbawah. Dengan kata lain, sebagian besar mereka yang miskin waktu juga miskin pendapatan, sekaligus mengalami berbagai bentuk deprivasi lain.

Logikanya sebagai berikut.

Semakin miskin orang, semakin sedikit mereka bisa membeli barang dan jasa di pasar. Jika layanan dasar tidak disediakan negara, mereka harus memproduksinya sendiri. Seorang buruh dengan jam kerja panjang berupah rendah, misalnya, sepulang kerja masih harus memasak, mencuci, mengurus anak, atau merawat orang tua, karena tidak mampu membayar orang lain untuk melakukannya.

Peliknya lagi, ia bergantung pada kayu bakar untuk memasak, sesuatu yang jarang dijual di pasar. Oleh karena itu, setiap harinya ia harus berjalan jauh mengumpulkan kayu bakar, pekerjaan melelahkan yang sangat menyita waktu. 

Kebutuhan akan air juga sama ruwetnya. Ia, atau anggota keluarganya yang lain, harus mengambil, mengangkut, dan menyimpan air untuk kebutuhan sehari-hari. Jika sumber air jauh, itu bisa menelan sebagian besar hari.

Baginya, kerja berbayar dan tak berbayar saling menindih; waktu luang hampir selalu nihil. Itu berarti ia kehilangan waktu untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hubungan keluarga merenggang, kesempatan belajar atau berorganisasi lenyap, yang ujung-ujungnya semakin memperparah kemiskinan ekonominya. Tanpa perbaikan nasib, generasi berikutnya akan menapaki jalan cerita yang kurang-lebih sama, sehingga lingkaran setan kemiskinan materi dan kemiskinan waktu ini secara tidak sengaja “diwariskan”.

Gambaran tersebut, di satu sisi, menunjukkan bahwa kemiskinan waktu bisa sama peliknya dengan kemiskinan materi. Selayaknya rumah tangga miskin harus membuat pilihan yang menyakitkan (beli beras atau perlengkapan sekolah, jarang beli beras dan perlengkapan sekolah), orang yang miskin waktu juga dihadapkan pada pilihan pahit. Bekerja 15 jam per hari berarti kehilangan waktu untuk berolahraga; jika memaksakan berolahraga, itu mengakibatkan jam tidur berkurang, dan seterusnya.

Namun, di sisi lain, kemiskinan waktu lebih rumit ketimbang kemiskinan materi dalam satu hal: sementara uang bisa ditingkatkan, mungkin dengan mencari pekerjaan baru, kita tidak pernah bisa menambah jam hidup kita. Uang juga terkadang bisa diperoleh kembali jika hilang; waktu tidak bisa. Sekalinya berlalu, itu hilang selamanya.

Seandainya kemiskinan waktu hanya perkara “kekurangan jam” semata, kita mungkin bisa memalingkan muka darinya. Masalahnya, meskipun lebih sulit dilihat dan diukur dibanding kemiskinan materi, kemiskinan waktu memiliki dampak serius, entah pada tubuh sendiri, lingkungan sosial, dan bahkan kehidupan politik yang lebih luas.

Penelitian menunjukkan betapa mahalnya harga dari kemiskinan waktu. Tatkala jam terasa selalu menekan, tubuh bergulat dengan stres kronis, kecemasan, dan depresi. Konsentrasi buyar, emosi lebih mudah meledak, dan burnout menjadi kondisi default. Efeknya menjalar melalui kemerosotan perilaku atau kebiasaan: kita menunda periksa dokter, makan terburu-buru, melewatkan olahraga, dan menumpuk penyakit yang tak sempat diurus.

Dan di balik semua itu, ada persoalan politik yang jauh lebih besar.

Demokrasi menuntut partisipasi aktif. Ia membutuhkan warga yang punya waktu untuk membaca berita, membandingkan kebijakan, menghadiri musyawarah, atau sesederhana bertukar pikiran dengan sesama warga. Namun, bagaimana mungkin seorang buruh berupah rendah sempat membaca berita jika hari kerjanya merayap hingga larut malam?

Bagaimana mungkin seorang ibu yang harus bekerja di luar dan di dalam rumah, dibayar maupun tidak, mampu memikirkan kebijakan yang akan memengaruhi nasibnya selama beberapa tahun ke depan? Bagaimana mungkin seorang akademisi dituntut mengabdi pada masyarakat, mungkin dengan mengadvokasi program anti-kemiskinan, ketika hari-harinya dibebani kewajiban mengajar dan tugas administratif yang tak berujung?

Erosi tersebut memang tak kasat mata atau menggertak, tetapi dalam jangka panjang sangat menghancurkan. Warga yang kelelahan dan kekurangan waktu hanya bisa berpartisipasi setengah hati: menyimak sekilas visi-misi kandidat, mendasarkan keputusannya pada siapa yang paling sering muncul di beranda media sosial, dan kemudian memilih terburu-buru di kotak suara.

Demokrasi pun mulai layu, bukan karena rakyat apatis, melainkan karena rakyat kekurangan kapasitas temporal. Dan dalam kekosongan ini, daya tarik otoritarianisme menguat. Buat apa menghabiskan berjam-jam rapat di balai kota, atau mendengarkan debat presiden di TV, jika ada sosok tegas nan kuat yang menjanjikan “beres” tanpa “omon-omon” dialog kritis? Tanpa waktu yang cukup, pemilih yang lelah berisiko menyetujui jalan pintas atas nama efisiensi.

Solusi personal jelas penting. Para psikolog menyarankan kita menata ulang prioritas, berani berkata tidak pada komitmen yang tidak perlu, dan menciptakan batas jelas antara kerja dan kehidupan pribadi. Beberapa lainnya menekankan pentingnya mengandalkan support system jika kita kesulitan mencapai keseimbangan, karena mengelola semuanya sekaligus dapat terasa sangat membebani.

Namun, solusi individual seperti itu bukanlah apa-apa selama struktur dan institusi ekonomi dan politik kita terus dibiarkan apa adanya seperti sekarang. Di sinilah urgensinya solusi-solusi kolektif. Budaya kerja perlu dikonfigurasi ulang. Eksperimen di Islandia, Inggris, dan Jepang menunjukkan bahwa jam kerja empat hari dengan gaji penuh bukan hanya mungkin, tetapi juga meningkatkan produktivitas.

Perawatan tak berbayar (seperti merawat orang tua yang sudah renta) perlu diakui dan dihargai dalam statistik nasional, kemudian diberi dukungan material, sebagaimana diperjuangkan para ekonom feminis. Hak untuk terputus (right to disconnect), misalnya dengan melarang manajer meng-email pekerja tentang pekerjaan di hari libur, harus dipandang sebagai hak sipil baru dan bukan sekadar fasilitas tambahan.

Lebih jauhnya, sistem transportasi publik harus dilihat sebagai infrastruktur waktu. Setiap jam yang dihabiskan dalam kemacetan adalah jam yang dicuri dari kesehatan, keluarga, dan partisipasi publik. Investasi dalam transportasi massal cepat, nyaman, dan terjangkau pada hakikatnya adalah kebijakan pembebasan waktu.

Demikian pula, regulasi pasar tenaga kerja bisa diarahkan untuk membatasi kontrak “on-call” atau sistem kerja yang membuat pekerja terus-menerus siaga tanpa kepastian jadwal. Kepastian jadwal kerja adalah kepastian hidup, karena memungkinkan orang merencanakan hari mereka, merawat keluarga, atau bahkan sekadar beristirahat.

Intinya, tanpa mendiskreditkan kemiskinan ekonomi, kemiskinan waktu layak mendapatkan perhatian politik serius. Selama ini kemiskinan waktu jarang masuk headline, meskipun itu telah membentuk irama hari-hari kita, kesehatan tubuh kita, kekuatan komunitas kita, dan kualitas demokrasi kita. Ini memerlukan lebih dari sekadar pertanyaan seberapa banyak yang kita hasilkan, melainkan seberapa banyak dari hidup yang benar-benar kita jalani.

Filsuf Andre Gorz pernah menulis bahwa kebebasan bukan sekadar ketiadaan paksaan, melainkan “waktu untuk melakukan apa yang kita kehendaki”. Dengan definisi itu, jutaan (atau bahkan miliaran) orang hari ini sebenarnya tidak bebas, bukan karena kemiskinan di dompet, tetapi karena kemiskinan di waktu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun