Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kemiskinan Waktu, Ketika 24 Jam dalam Sehari Tidak Lagi Cukup

27 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 27 Agustus 2025   10:11 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, solusi individual seperti itu bukanlah apa-apa selama struktur dan institusi ekonomi dan politik kita terus dibiarkan apa adanya seperti sekarang. Di sinilah urgensinya solusi-solusi kolektif. Budaya kerja perlu dikonfigurasi ulang. Eksperimen di Islandia, Inggris, dan Jepang menunjukkan bahwa jam kerja empat hari dengan gaji penuh bukan hanya mungkin, tetapi juga meningkatkan produktivitas.

Perawatan tak berbayar (seperti merawat orang tua yang sudah renta) perlu diakui dan dihargai dalam statistik nasional, kemudian diberi dukungan material, sebagaimana diperjuangkan para ekonom feminis. Hak untuk terputus (right to disconnect), misalnya dengan melarang manajer meng-email pekerja tentang pekerjaan di hari libur, harus dipandang sebagai hak sipil baru dan bukan sekadar fasilitas tambahan.

Lebih jauhnya, sistem transportasi publik harus dilihat sebagai infrastruktur waktu. Setiap jam yang dihabiskan dalam kemacetan adalah jam yang dicuri dari kesehatan, keluarga, dan partisipasi publik. Investasi dalam transportasi massal cepat, nyaman, dan terjangkau pada hakikatnya adalah kebijakan pembebasan waktu.

Demikian pula, regulasi pasar tenaga kerja bisa diarahkan untuk membatasi kontrak “on-call” atau sistem kerja yang membuat pekerja terus-menerus siaga tanpa kepastian jadwal. Kepastian jadwal kerja adalah kepastian hidup, karena memungkinkan orang merencanakan hari mereka, merawat keluarga, atau bahkan sekadar beristirahat.

Intinya, tanpa mendiskreditkan kemiskinan ekonomi, kemiskinan waktu layak mendapatkan perhatian politik serius. Selama ini kemiskinan waktu jarang masuk headline, meskipun itu telah membentuk irama hari-hari kita, kesehatan tubuh kita, kekuatan komunitas kita, dan kualitas demokrasi kita. Ini memerlukan lebih dari sekadar pertanyaan seberapa banyak yang kita hasilkan, melainkan seberapa banyak dari hidup yang benar-benar kita jalani.

Filsuf Andre Gorz pernah menulis bahwa kebebasan bukan sekadar ketiadaan paksaan, melainkan “waktu untuk melakukan apa yang kita kehendaki”. Dengan definisi itu, jutaan (atau bahkan miliaran) orang hari ini sebenarnya tidak bebas, bukan karena kemiskinan di dompet, tetapi karena kemiskinan di waktu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun