Namun, solusi individual seperti itu bukanlah apa-apa selama struktur dan institusi ekonomi dan politik kita terus dibiarkan apa adanya seperti sekarang. Di sinilah urgensinya solusi-solusi kolektif. Budaya kerja perlu dikonfigurasi ulang. Eksperimen di Islandia, Inggris, dan Jepang menunjukkan bahwa jam kerja empat hari dengan gaji penuh bukan hanya mungkin, tetapi juga meningkatkan produktivitas.
Perawatan tak berbayar (seperti merawat orang tua yang sudah renta) perlu diakui dan dihargai dalam statistik nasional, kemudian diberi dukungan material, sebagaimana diperjuangkan para ekonom feminis. Hak untuk terputus (right to disconnect), misalnya dengan melarang manajer meng-email pekerja tentang pekerjaan di hari libur, harus dipandang sebagai hak sipil baru dan bukan sekadar fasilitas tambahan.
Lebih jauhnya, sistem transportasi publik harus dilihat sebagai infrastruktur waktu. Setiap jam yang dihabiskan dalam kemacetan adalah jam yang dicuri dari kesehatan, keluarga, dan partisipasi publik. Investasi dalam transportasi massal cepat, nyaman, dan terjangkau pada hakikatnya adalah kebijakan pembebasan waktu.
Demikian pula, regulasi pasar tenaga kerja bisa diarahkan untuk membatasi kontrak “on-call” atau sistem kerja yang membuat pekerja terus-menerus siaga tanpa kepastian jadwal. Kepastian jadwal kerja adalah kepastian hidup, karena memungkinkan orang merencanakan hari mereka, merawat keluarga, atau bahkan sekadar beristirahat.
Intinya, tanpa mendiskreditkan kemiskinan ekonomi, kemiskinan waktu layak mendapatkan perhatian politik serius. Selama ini kemiskinan waktu jarang masuk headline, meskipun itu telah membentuk irama hari-hari kita, kesehatan tubuh kita, kekuatan komunitas kita, dan kualitas demokrasi kita. Ini memerlukan lebih dari sekadar pertanyaan seberapa banyak yang kita hasilkan, melainkan seberapa banyak dari hidup yang benar-benar kita jalani.
Filsuf Andre Gorz pernah menulis bahwa kebebasan bukan sekadar ketiadaan paksaan, melainkan “waktu untuk melakukan apa yang kita kehendaki”. Dengan definisi itu, jutaan (atau bahkan miliaran) orang hari ini sebenarnya tidak bebas, bukan karena kemiskinan di dompet, tetapi karena kemiskinan di waktu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI