Pembedaan antara fakta absolut dan fakta relatif merupakan cara saya untuk menjelaskan mana hal-hal yang dapat saya perjuangkan lebih lanjut dan mana hal-hal yang harus saya terima apa adanya seiring rasa puas yang tanpa syarat.
Ungkapan umum "puaslah dengan diri sendiri" tidak membantu banyak bagi kita yang menginginkan perkembangan sepanjang waktu.Â
Jika kita selamanya merasa puas terhadap apa adanya diri kita, hingga kapan pun kita akan selalu benci dengan perubahan.
Tetapi realitas itu sendiri tidak pernah berhenti untuk berubah, dan kita hidup dalam selimut dinamika tersebut yang sekaligus menuntut kita agar bisa beradaptasi dengan ketidakpastian yang hidup berikan.
Bayangkan bahwa Anda menempati posisi terbawah dalam olimpiade matematika dan Anda berusaha untuk merasa puas dengan hasil tersebut agar terhindar dari rasa kecewa, apakah Anda akan mengalami perkembangan di lain waktu?
Mari kita perjelas antara konsep "bersyukur" dan "berpuas diri". Dalam kemalangan tersebut, Anda dapat saja merasa bersyukur terhadapnya, tetapi ingat bahwa Anda tidak bisa berpuas diri begitu saja, apalagi dengan membohongi diri sendiri.
Sekarang katakanlah bahwa Anda menempati posisi terendah dalam perusahaan di mana Anda bekerja.Â
Jika Anda ingin mendefinisikan diri Anda yang apa adanya, Anda adalah seorang ... yang gajinya masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan.
Haruskah Anda merasa puas terhadap diri Anda yang apa adanya itu? Jujurlah. Andaikan Anda memang tidak puas terhadapnya, Anda tidak bisa lagi membenarkan diri Anda yang berleha-leha atas nasib tersebut. Implikasinya, nasib ingin Anda berjuang.
Selama ini kita cenderung membenarkan kemalangan yang menimpa kita semata-mata untuk menghibur diri sendiri. Kita takut untuk melangkah sebab di sana ada perubahan. Dan apa yang terjadi pada kita ke depannya tidak pernah terjamin akan lebih baik.
Namun, apa yang kita lewatkan adalah tidak ada nasib yang lebih baik kecuali melalui perubahan dan ketidakpastian itu. Hidup merupakan serba kemungkinan.