Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Seni Mengkritik Diri Sendiri: Mengapa Penting dan Bagaimana Caranya

14 Juli 2021   08:17 Diperbarui: 16 Juli 2021   21:01 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cara bercermin yang paling indah adalah dengan mengkritik diri sendiri | Ilustrasi oleh Alexandr Ivanov via Pixabay

Disadari ataupun tidak, kita semua gemar mengkritik orang lain bagaikan seekor singa yang rindu pada makanannya. Entah karena naluri untuk mengangkat derajat diri sendiri atau kebiasaan, kita melakukannya. 

Tapi bagaimana jika itu menjadi umpan balik pada diri kita sendiri?

Ketika kita gagal dalam sesuatu yang penting bagi kita, itu bisa terasa sangat menyakitkan. Pengalaman-pengalaman ini dapat mengancam inti dari pendefinisian siapa kita dan siapa yang kita inginkan.

Masalah dari tragedi kegagalan adalah kecenderungan mayoritas orang untuk menghindarinya.

Mereka pun beralih ke strategi perlindungan diri dengan merasionalisasi apa yang terjadi sehingga menempatkan mereka dalam cahaya yang lebih positif, menyalahkan orang lain, dan mengabaikan betapa pentingnya pengalaman tersebut.

Strategi semacam ini, tidak pelik lagi, membuat kita merasa lebih baik tentang diri kita sendiri dalam jangka pendek. Tetapi kerugian terbesarnya baru akan terasa ketika kita tidak dapat meningkatkan kewaspadaan kita atau menghindari pengulangan kesalahan kita di masa depan.

Kita tidak mempelajarinya.

Manusia adalah makhluk yang ulung untuk mencari pembenaran atas kesalahannya sendiri. Inilah yang membuat pengucapan maaf terasa sangat berat, bahkan beberapa dari kita tidak ingin mengucapkannya sama sekali dan tertelan oleh gengsi.

Masuk akal: jika Anda sudah merasa hebat, Anda akan merasa tidak perlu berusaha keras untuk memperbaiki diri sendiri. Dan melihat diri sendiri secara jujur, tentu saja, lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Menghadapi iblis yang bersemayam di batin kita sendiri dapat membuat kita kewalahan dan berakhir dengan putus asa. Masing-masing orang punya tekad kuat untuk mengambil tanggung jawab yang dikaitkan dengan heroisme, tetapi beberapa dari mereka, pada akhirnya, menyesalinya.

Di era yang sibuk ini, sebaiknya tidak boleh ada penundaan lagi bagi kita untuk berani mengkritik diri sendiri. Kini orang-orang hanya menggunakan cermin sebagai sarana menilai penampilan. Danau mulai keruh. Awan-awan berpolusi.

(Satu-satunya) cara terbaik untuk bercermin adalah dengan mengkritik diri sendiri (sebelum orang lain melakukannya pada kita). Karena siapa lagi orang yang paling mengenal kita selain diri kita sendiri?

Salah kaprah mengkritik diri sendiri

Keberanian untuk mengkritik diri sendiri jelas amat perlu bagi mereka yang ingin mengevaluasi setiap langkah dalam kehidupannya. Seperti kata Socrates, "Hidup yang tidak diperiksa, tidak layak dijalani."

Namun kenyataannya, keterampilan mulia ini sering diabaikan oleh banyak orang karena asumsi yang tersebar di luar sana mengutuknya. Katanya mengkritik diri sendiri telah terbukti meningkatkan penundaan dan perenungan yang menghambat kemajuan tujuan.

Jika Anda sudah merasa tidak berharga dan tidak kompeten, mungkin Anda akan merasa tidak berguna lagi untuk menjadi lebih baik di lain waktu. Mengkritik diri sendiri hanyalah bukti bahwa seseorang tidak punya rasa optimis.

Mereka pun memancing depresi oleh tindakannya sendiri. Ujung-ujungnya melukai diri sendiri seperti memuliakan sebilah pisau yang menyayat kerongkongannya sendiri.

Itu benar. Saya setuju ... jika konteks yang dimaksud adalah mengkritik diri sendiri di awal pertempuran. Bayangkan di sana terdapat seorang kaisar yang hendak menuju medan perang. Jika dia mengawali keberangkatan dengan rasa pesimis, apa yang akan terjadi? Bencana!

Namun apa jadinya kalau sang kaisar baru saja pulang dari medan perang dan dia melakukan kritik terhadap pasukannya sendiri?

Itu yang saya maksud. Meskipun tindakan seperti itu kecil kemungkinan akan disukai prajuritnya, bahkan oleh sang kaisar itu sendiri, tetapi tindakan ini penting untuk meningkatkan kualitas berperang di masa mendatang.

Jika perumpamaan itu terlalu sulit, bayangkan bahwa Anda adalah seorang siswa. Apa yang terjadi kalau saya (sebagai guru) memberi Anda ujian sebelum materi pembelajaran tersampaikan?

Saya tahu, Anda akan kesulitan dan mungkin mengancam nyawa saya sebagai guru yang tidak tahu diri. Betapa malangnya!

Tetapi Anda tidak bisa protes andaikan saya memberi Anda ujian di akhir pembelajaran. Saya melakukannya demi kebaikan Anda, dan Anda mesti melakukannya juga demi pengembangan diri sendiri.

Begitulah keterampilan mengkritik diri sendiri menampilkan pesona sihirnya. Ia tidak muncul di awal pertempuran (meskipun itu juga tidak apa-apa kalau Anda menyukainya), melainkan saat pertempuran telah berakhir sebagai bentuk evaluasi diri.

Selain peranannya sebagai bentuk evaluasi atau cermin pembelajaran, keterampilan mengkritik diri sendiri juga mesti memerhatikan keseimbangan antara afirmasi dan kritik agar tidak berujung pada dampak negatif.

Maksudnya, proporsi antara menghargai (afirmasi) dan penampikan (kritik) sebisa mungkin berada dalam takaran adil dan seimbang.

Jika terlalu banyak kritik, Anda hanya akan mendapatkan diri Anda menjadi lebih pesimistis daripada sebelumnya. Dan jika terlalu banyak penghargaan, Anda melemahkan diri sendiri seperti seorang pesulap yang memperdaya dirinya sendiri.

Ini seperti sebuah skandal ketika Anda berkata, "Saya benar-benar buruk!" atau, "Saya sungguh cemerlang!" Kenyataannya, tidak ada jerih payah yang murni sempurna atau murni cacat. Apa pun yang Anda perjuangkan, hasilnya akan selalu seperti dua sisi mata uang koin.

Jadi andai kata Anda tidak bisa menggali salah satu sisi (kelebihan atau kelemahan), Anda perlu mengambil jeda dan mengambil jarak dari pikiran Anda sendiri agar penilaian dapat berjalan lebih jernih tanpa bayang-bayang kesemrawutan.

Mengapa ini penting?

Sejauh ini, ada dua poin inti yang telah saya sampaikan bahwa mengkritik diri sendiri berarti mengevaluasi hasil jerih payah yang sudah ditumpahkan dan pelaksanaannya mesti dalam porsi yang seimbang antara afirmasi dan kritik.

Lebih jauh dari itu, sekurang-kurangnya ada 7 poin yang membuat keterampilan mengkritik diri sendiri begitu penting.

1. Bentuk kecintaan terhadap diri sendiri

Mengkritik sesuatu itu cukup menguras waktu dan tenaga. Anda membutuhkan kemampuan berempati yang mencukupi serta kerendahan hati untuk menemukan solusi penambal masalah. Jika Anda keluar dari dua konteks tersebut, kemungkinannya Anda beralih pada tindakan menghina.

Maka untuk bisa mengkritik sesuatu dengan sungguh-sungguh, diperlukan rasa cinta yang tanpa syarat serta kepedulian yang tak terukur. Dan ketika Anda menuangkan kritik tersebut pada diri sendiri, tidak salah lagi, itu adalah bukti kecintaan Anda terhadap diri sendiri.

Ingat kembali bahwa keputusan seseorang untuk mengkritik sesuatu adalah karena keinginannya agar sesuatu itu memperbaiki dirinya. Jadi ketika Anda melapangkan dada untuk mengkritik diri sendiri, Anda sedang membuka pintu pengembangan diri.

Tidak setiap orang ingin melakukannya untuk Anda. Dan kalau mereka tidak memedulikan Anda, siapa lagi yang mesti peduli pada Anda selain diri Anda sendiri?

2. Mendeteksi celah-celah agar cahaya bisa masuk

Orang yang tidak mengetahui kekurangannya sendiri bagaikan sebuah rumah tanpa jendela dan pintu. Mereka hanya punya tembok yang menjulang tinggi mengelilingi ruangan, tetapi tanpa jendela dan pintu, cahaya tidak mungkin masuk.

Mereka yang enggan mengkritik dirinya sendiri, secara tidak sadar, telah menggelapkan dirinya sendiri.

Mungkin terasa menyakitkan saat tahu bahwa di rumah Anda terdapat celah. Tetap dari celah itulah Anda tersadar tentang betapa pentingnya untuk memasang jendela dan pintu, sebab cahaya yang masuk lewat celah-celah itulah yang mengagumkan Anda.

Daripada membiarkan celah-celah itu merusak ketangguhan rumah Anda, lebih baik segera perbaiki dan pasang jendela serta pintu yang lebih khusus untuk membiarkan cahaya mentari masuk menghangatkan ruangan.

Itu berarti, tidak apa-apa jika Anda menemukan celah dalam diri Anda. Segera perbaiki dan sediakan sarana khusus untuk mengizinkan pembelajaran (cahaya) mencerahkan Anda, yaitu keterampilan mengkritik diri sendiri.

3. Kemandirian

Mereka yang tidak mau dikritik, baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri, adalah kepulan asap ego yang terus bersikeras dengan ilusi kebenarannya sendiri. Mereka yang tidak bisa menilai dirinya sendiri adalah ketergantungan.

Tetapi mereka yang cakap memeriksa kehidupannya, bahkan sebelum orang lain melakukannya, adalah kemandirian yang amat-sangat manis.

4. Berdamai dengan kecacatan

Mengkritik diri sendiri berarti menyediakan ruang khusus untuk menerima kekurangan atau kelemahan diri sendiri dengan penuh kerendahan hati. Itu berarti menundukkan ego dan memeluk ketidaksempurnaan. Itu berarti mencintai diri sendiri sebagaimana adanya.

5. Manifestasi dari tanggung jawab

Kemampuan Anda dalam mendeteksi kekurangan diri sendiri adalah bukti sederhana bahwa Anda sepenuhnya mengambil tanggung jawab atas diri Anda sendiri dan tidak mengkambinghitamkan orang lain dalam situasi sepelik apa pun.

Oh, saya mulai mengangkat topi saya untuk Anda.

6. Tangga pengembangan diri

Mengkritik diri sendiri berarti Anda sangat peduli terhadap tahap-tahap kecil dalam perjalanan Anda menuju puncak pengembangan diri.

Jika Anda melewatkan bagian ini dan langsung melompat menuju puncak atas dasar ego dan ketergesa-gesaan, saya khawatir Anda malah terjatuh hingga harus memulainya kembali dari dasar.

7. Membangun improvisasi

Bayangkan Anda selesai berperang dan menemukan satu strategi yang ternyata tidak efektif. Apa yang akan Anda lakukan? Mencari strategi baru atau sekurang-kurangnya mengimprovisasi strategi lama agar menjadi lebih efektif.

Itulah gambaran kecil ketika Anda menemukan satu celah dalam diri Anda: jika Anda tidak menjadi kreatif, setidak-tidaknya Anda membangun kemampuan berimprovisasi. Lewat keterampilan semacam itu, Anda melihat sesuatu yang akrab menjadi terkesan asing. Itu bagus untuk jiwa kritis Anda.

Bagaimana cara mengkritik diri sendiri?

Mengkritik diri sendiri tidak semudah membersihkan sampah yang berserakan di rumah Anda. Dalam kasus mengkritik, kita akan cukup kesulitan untuk menemukan sampah itu. Dan karenanya mengkritik diri sendiri itu ada seninya. Bagaimana?

1. Tetapkan standar keberhasilan

Anda tidak berhak mengkritik sebuah lukisan jika Anda tidak mengerti nilai estetika dan nilai praktis lukisan. Intinya Anda tidak berhak mengkritik sesuatu yang sama sekali tidak Anda pahami.

Hukum yang sama juga berlaku dalam mengkritik diri sendiri. Bagaimana Anda bisa bersikap kritis jika Anda sendiri tidak tahu seberapa berhasilnya jerih payah Anda? Itulah mengapa patokan standar keberhasilan perlu ditancapkan sebelum bertempur.

Atau kalau Anda seorang guru, sebelum memeriksa jawaban murid-murid, pasti Anda sudah tahu apa jawaban yang benar. 

Begitu pula dalam konteks mengkritik: sebelum menilai diri sendiri, setidaknya Anda mesti tahu apa yang benar atau apa maksimal dari sebuah perjuangan.

Dan kemudian, lihatlah sejauh mana Anda mencapainya. (Saya sering menilainya dengan angka, misalnya bernilai 7 dari 10, lalu mendeskripsikannya: apa yang menjadikannya bernilai 7 dan mengapa tidak 10).

2. Mengejar kesempurnaan sebagai proses

Mengharapkan hasil yang sempurna adalah bumerang dan jawaban mutlak untuk kekecewaan. Tetapi mengejar kesempurnaan sebagai proses adalah penumpahan keringat yang tidak mudah lelah dan memaksimalkan jerih payah.

Jika itu terlalu sulit, bahasa sederhana dari "mengejar kesempurnaan sebagai proses" adalah bekerja keras untuk mencapai hasil maksimal. Anda berjuang seakan-akan di sana ada hasil yang sempurna. Dan itu tidak apa-apa selama Anda sadar bahwa kesempurnaan itu tidak ada.

Paradoks? Ya, ini adalah cara saya dalam memperdaya diri sendiri lewat ilusi kesempurnaan. Jika saya harus mengatakannya dengan indah, saya ingin berkata, "Kejarlah kesempurnaan tanpa pernah benar-benar mencapainya."

Perfeksionis? Tidak, sebab di akhir pertempuran, kita punya kerendahan hati yang amat lembut untuk mengkritik diri sendiri. Ini mengasyikkan!

3. Dengarkan suara hati daripada pikiran

Masalah dari kerja pikiran ketika kita gagal adalah, ia cenderung merasionalkan segala kekeliruan/kelemahan kita. Pada akhirnya, kita tidak mempelajari apa pun dan hanya membenarkan diri sendiri dengan menyalahkan sesuatu di luar diri kita.

Itu bisa menjadi serangan balik yang mematikan di kegagalan berikutnya. Jika hidup memang mengharuskan kita untuk merasakan pahitnya kegagalan, maka tidak sepatutnya kita menyangkal kekeliruan kita sendiri demi perbaikan di kesempatan lain.

Dan siapa yang bisa mengungkapkan kekeliruan itu? Adalah suara yang tidak pernah bisa berbohong terhadap tuannya: suara hati kecil.

Ada kutipan yang tidak saya ingat siapa pemiliknya, "Hatimu menyatu dengan semua lanskap alam semesta. Karenanya ia selalu tahu di mana letak kebenaran, juga tidaklah mudah untuk mendengarkan seruannya."

Oh saya ingat, itu kutipan saya sendiri.

4. Kritik pada apa yang dapat dikendalikan

Mengkritik kondisi fisik atau paras Anda tidaklah berguna, sebab Anda sendiri tidak bisa mengendalikannya. Bahkan mungkin Anda tidak meminta dilahirkan seperti itu. 

Maka kritik yang berkualitas adalah kritik yang mengarah pada sesuatu yang dapat dikendalikan.

Jika ingin memahaminya lebih jauh, saya pernah menuliskan artikel tentang "fakta bawaan" yang bisa sangat membantu menjelaskan poin ini.

5. Perhatikan keadaan eksternal

Tidak salah juga untuk melihat ke luar diri, barangkali di sana memang ada yang menghambat kita dan bisa kita hindari. Misalnya pada suatu waktu, saya menghabiskan waktu belajar di ruang tengah.

Namun setiap bertepatan dengan jam belajar saya, Ibu selalu menonton televisi dan suara berisiknya mengganggu konsentrasi saya. Maka daripada berdebat habis-habisan, saya bisa pindah ke dalam kamar atau bahkan ke luar rumah.

Dalam kasus kenyataan tentu bisa lebih rumit dari itu. Tetapi yang ingin saya jelaskan adalah, hindari hambatan eksternal jika memungkinkan untuk dihindari. Namun jika tidak, jadikan itu sebagai rintangan.

6. Hindari pembulatan ekstrem

Dalam tahap evaluasi dan hendak menyimpulkan, saya selalu menghindari pembulatan ekstrem. Misalnya selepas saya mengerjakan sebuah esai, saya tidak menilainya dengan "sangat bagus" atau "betapa jeleknya". Tidak, saya tetap memegang prinsip "keseimbangan afirmasi dan kritik".

Jadi penilaiannya tidak akan "hitam/putih" atau "positif/negatif". Kesimpulannya selalu dalam bentuk uraian yang berisi poin-poin afirmasi dan kritik, kemudian diakhiri dengan pembulatan lewat skor angka (seperti yang saya singgung sebelumnya).

Nah, kepelikan yang terjadi sekarang ini amatlah mudah untuk memancing reaksi kita walaupun tidak perlu. Teramat sulit untuk mengendalikan diri sendiri, apalagi di masa yang serba susah. Tetapi bagaimanapun juga, kita adalah manusia yang melampaui daya nabati dan hewani.

Kita dianugerahi kesadaran diri, kemampuan bernalar, hingga intuisi yang semuanya bernilai penting untuk membedakan kita dengan binatang. Dan salah satu pendayagunaan anugerah itu adalah, dengan mengkritik diri sendiri.

Pada akhirnya kita tahu bahwa, keterbukaan untuk mengakui kesalahan dan kekurangan diri sendirilah yang memberikan kita pelajaran berharga. Di sanalah letak mutiara berkilauannya: di dasar yang dipenuhi lumpur-lumpur dan bau busuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun