Jika itu terlalu sulit, bahasa sederhana dari "mengejar kesempurnaan sebagai proses" adalah bekerja keras untuk mencapai hasil maksimal. Anda berjuang seakan-akan di sana ada hasil yang sempurna. Dan itu tidak apa-apa selama Anda sadar bahwa kesempurnaan itu tidak ada.
Paradoks? Ya, ini adalah cara saya dalam memperdaya diri sendiri lewat ilusi kesempurnaan. Jika saya harus mengatakannya dengan indah, saya ingin berkata, "Kejarlah kesempurnaan tanpa pernah benar-benar mencapainya."
Perfeksionis? Tidak, sebab di akhir pertempuran, kita punya kerendahan hati yang amat lembut untuk mengkritik diri sendiri. Ini mengasyikkan!
3. Dengarkan suara hati daripada pikiran
Masalah dari kerja pikiran ketika kita gagal adalah, ia cenderung merasionalkan segala kekeliruan/kelemahan kita. Pada akhirnya, kita tidak mempelajari apa pun dan hanya membenarkan diri sendiri dengan menyalahkan sesuatu di luar diri kita.
Itu bisa menjadi serangan balik yang mematikan di kegagalan berikutnya. Jika hidup memang mengharuskan kita untuk merasakan pahitnya kegagalan, maka tidak sepatutnya kita menyangkal kekeliruan kita sendiri demi perbaikan di kesempatan lain.
Dan siapa yang bisa mengungkapkan kekeliruan itu? Adalah suara yang tidak pernah bisa berbohong terhadap tuannya: suara hati kecil.
Ada kutipan yang tidak saya ingat siapa pemiliknya, "Hatimu menyatu dengan semua lanskap alam semesta. Karenanya ia selalu tahu di mana letak kebenaran, juga tidaklah mudah untuk mendengarkan seruannya."
Oh saya ingat, itu kutipan saya sendiri.
4. Kritik pada apa yang dapat dikendalikan
Mengkritik kondisi fisik atau paras Anda tidaklah berguna, sebab Anda sendiri tidak bisa mengendalikannya. Bahkan mungkin Anda tidak meminta dilahirkan seperti itu.Â
Maka kritik yang berkualitas adalah kritik yang mengarah pada sesuatu yang dapat dikendalikan.
Jika ingin memahaminya lebih jauh, saya pernah menuliskan artikel tentang "fakta bawaan" yang bisa sangat membantu menjelaskan poin ini.