Saya mengapresiasi niat mulia dari para pionir media sosial. Mereka ingin semua orang bisa mengenal dan berempati terhadap pemahaman yang lebih besar di seluruh negara, etnis, dan gaya hidup.
Mereka memimpikan gerakan global yang bersatu dan terhubung dengan satu kepentingan bersama untuk perdamaian dan kemakmuran. Mereka ingin umat manusia bisa terhubung tanpa terhambat waktu dan ruang; hanya dengan jaringan internet dan segala sesuatunya sudah ada di ujung jari kita.
Mereka berhasil. Mereka melakukannya. Media sosial mendatangkan banyak manfaat bagi kita dalam berbagai aspek. Tanpa saya sebutkan pun, Anda sudah mengetahuinya.
Tapi, mari kita bicarakan sisi gelap dari media sosial. (Euh, tidak selebay itu juga sih). Karena biasanya, seseorang yang terperangkap dalam mimpi, penglihatan, dan harapan, mereka buta dengan efek samping dari semuanya.
Media sosial memberi kita informasi yang kita inginkan
Nah, yang ini cukup ironis. Meskipun media sosial memudahkan kita dalam mengakses informasi dibanding masa-masa sebelumnya, kita pun dibuat pusing 7 keliling karenanya.
Sering kita mendapatkan informasi A di Facebook, dan lalu malah berbunyi B di Twitter dalam topik yang sama. Memang, media sosial adalah tempat yang sangat cocok untuk beropini. Dan karena itulah kita sulit membedakan antara fakta, opini, dan hoaks.
Media sosial, pada akhirnya, tidak dirancang untuk memberikan informasi yang dibutuhkan orang. Ini memberi orang informasi yang mereka inginkan.
Dan sayangnya, ada perbedaan besar di sini.
Misalnya, saya ingin percaya bahwa vaksin covid-19 tidaklah aman bagi semua orang sehingga saya punya alasan kuat untuk tidak ikut program vaksin.
Dan tanpa bertanya, Facebook dengan patuh menunjukkan kepada saya artikel yang memvalidasi keinginan tersebut. Setiap hari.
Namun, ketika saya memaksakan diri untuk mengunjungi situs web demi melihat data jajak opini, menggali sumber utama dan melihat analogi historis, saya melihat bahwa itu mungkin tidak benar.