Fakta bahwa saya lebih senang diberi informasi yang membenarkan opini saya dan menghilangkan rasa tidak aman saya; itulah masalahnya. Sebab dengan menyuguhkan informasi yang membenarkan paradigma pengguna media sosial, mereka mendapatkan uang.
Mendistorsi persepsi realitas kita
Kebanyakan orang hanya mengunggh hal-hal yang indah saja di media sosial, misalnya sepatu baru, HP baru, pacar baru, selingkuhan baru, cafe baru, tas baru, rumah baru, wajah baru, darah-daging baru, dan seterusnya.
Hampir jarang sekali orang-orang yang mem-post kemalangan, kemiskinan, kecerobohan, atau kebodohan dalam hidupnya.
Saya belum pernah melihat ada orang yang menulis di akun Instagramnya, "Yeay! Perusahaanku baru saja bangkrut dan sekarang aku sedang diburu debt collector. Mohon dukungannya ya, guys!"
Karena postingan orang-orang di media sosial selalu diseleksi, maka media sosial tidak memberikan gambaran realitas hidup yang seimbang, tetapi cenderung ke hal-hal yang positif saja.
Saya memerhatikan seorang teman yang sedang mengambil foto selfie ratusan kali dan menyeleksinya selama hampir dua jam. Tak lama setelah itu, saya melihat postingannya di Instagram hanya satu. HANYA SATU FOTO!
Ini membuat kita mengira standar hidup yang "normal" itu harus selalu indah, sempurna, harmonis, dan ketika harus berhadapan dengan kenyataan yang tidak enak sedikit, bagi kita ini sudah menjadi masalah besar.
Secara tidak sadar, kita telah menciptakan standar gaya hidup baru dengan kehadiran media sosial. Saat di Instagram sedang ramai tempat cafe tertentu, kita turut ingin ngopi di sana. Padahal di rumah biasa kopi sachet-an, tiba-tiba datang ke cafe yang bahkan tidak tahu cara memesannya.
Hal seperti itu membuat kita hidup tanpa pernah puas terhadap hidup atau penampilan kita. Karena jika seperti itu, kita menjalani hidup sesuai tren, dan yang namanya tren itu bersifat dinamis.
Jika kamu hidup berdasarkan pemikiran/opini orang lain, kamu tak akan pernah menjadi kaya. - Seneca
Sebenarnya ini adalah sebuah tragedi. Jika dulu kita hanya merasa iri kepada tetangga atau saudara. Sekarang dengan adanya media sosial, kita bisa merasa iri kepada seluruh dunia. Dan dengan remehnya kita mengeluh, "Dunia tidak adil!"