Mohon tunggu...
Muhamad Devasso Azzura Adam
Muhamad Devasso Azzura Adam Mohon Tunggu... Freelancer - Pengamat

Sering memikirkan apa yang tidak seharusnya dipikirkan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemikiran Kautilya dan Kaitannya dengan Siasat Politik Luar Negeri Indonesia

3 Desember 2021   19:50 Diperbarui: 18 Desember 2021   00:44 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Do not display anger towards your opponent in public" - Kautilya

Pengantar

Perkembangan politik dunia yang kian berubah menuntut Indonesia untuk bisa beradaptasi. Penyelenggaraan kebijakan luar negeri Indonesia selalu bertumpu pada prinsip ‘bebas aktif’. 

Komitmen Indonesia atas prinsip bebas aktif begitu kuat mengingat para diplomat terdahulu menggunakannya saat berinteraksi ‘panas’ dengan major powers. Doktrin bebas aktif ini memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk bermanuver dalam persaingan politik global.

Maksud dari doktrin bebas aktif ini dijelaskan dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri yaitu bebas dalam menentukan sikap dan kebijaksanaan menghadapi permasalahan internasional tanpa mengikatkan diri secara a priori pada satu kekuatan dunia. 

Doktrin ini juga dimaksudkan agar Indonesia melibatkan diri secara aktif untuk memberikan kontribusi dalam menyelesaikan konflik, baik kontribusi pikiran dan partisipasi aktif demi mencapai ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

Namun, apabila bebas aktif ini dimaknai secara sempit sebagai bebas dari aliansi, tentu akan membatasi gerak Indonesia dalam menanggapi dinamika politik internasional.

Implementasi politik luar negeri bebas aktif bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional. Diperlukan strategi yang efektif dan mengikuti tren politik dunia agar eksistensi Indonesia tetap diakui terutama dalam hubungan luar negeri. 

Pemikiran strategis diperlukan dalam melaksanakan politik luar negeri Indonesia agar dapat mencapai kepentingan nasional. 

Maka dari itu, penulis menyadari pentingnya kajian mengenai strategi dalam Ilmu Hubungan Internasional yang membantu penulis untuk menganalisis kaitan pemikiran strategis tokoh politik kuno seperti Kautilya dan siasat politik luar negeri Indonesia.

Kajian Strategi Bagi Negara

Setiap negara, tak terkecuali Indonesia, pasti memiliki formula tersendiri dalam menjalankan kekuasaannya sesuai dengan situasi negaranya. Walaupun negara-negara memiliki praktik politiknya sendiri, tentu dalam pola tertentu memiliki kaitan dengan pemikiran-pemikiran tokoh atau filsuf politik terdahulu. 

Rasanya terlalu ceroboh bagi negara ketika menjalankan pemerintahan tanpa melihat sejarah. Diperlukan pemikiran-pemikiran tokoh politik terdahulu agar mengetahui hambatan dan peluang dalam menyelenggarakan kekuasaan.

Strategi dalam Hubungan Internasional yang awalnya bersifat militeristik diperluas maknanya seperti yang dijelaskan oleh W. Murray dan M. Grindslay dalam Baylis (2002), yakni merupakan sebuah proses adaptasi konstan terhadap kondisi dan keadaan yang berubah di mana peluang (chance), ketidakpastian (uncertainty), dan ambiguitas (ambiguity) mendominasi (Baylis et al., 2002). 

Lebih dari sekadar urusan militer dan perang, seluruh sumber daya negara harus dikerahkan dalam mencapai tujuan politik. 

Pemikiran strategis dibutuhkan agar segala proses mencapai tujuan nasional terencana dengan baik dan mengurangi resiko kerugian yang mungkin terjadi.

Salah satu tokoh pemikir strategis mengenai pemerintahan adalah Kautilya. Sosok Kautilya hidup pada di abad 4 sebelum masehi dan menuangkan pemikiran politiknya ke dalam karya bernama Arthasastra (Segara, 2019). 

Pemahamannya mengenai politik adalah berdasarkan pengalamannya langsung sebagai seorang penasihat pemerintahan dan didukung oleh literatur agama dan politik Hindu terdahulu. 

Kautilya pernah mengabdi kepada seorang raja arogan bernama Nanda hingga meruntuhkan kekuasaannya karena merasa terhina.

Potensi Kautilya menjadi raja saat itu sangat besar, namun dirinya justru menjadi king maker bagi Maurya dengan menempatkan Chandragupta (rekan Kautilya dalam mengalahkan Raja Nanda) sebagai pemimpin. Kereligiusan Kautilya menjadikannya bijaksana untuk memprioritaskan kesejahteraan negara.

Pemikiran Kautilya dalam Politik

Kautilya menyampaikan pesan menarik dalam kitabnya, yakni Saktihino balavantamasrayet yang berarti bila merasa diri kurang kuat, bertemanlah atau bergabung dengan yang lebih kuat, agar kecemasan dapat diatasi. Pesan ini ditujukan kepada seorang pemimpin tentang bagaimana dirinya harus mengambil keputusan apabila kurang kuat.

Pesan lainnya adalah Praja sukhe sukham rajnah,  prajanam ca hita hitam, natmapriyam hitam rajnah, prajanam tu priyam hitam yang bermakna bahwa kebahagiaan rakyat adalah kebahagiaan raja, kesejahteraan rakyat juga kesejahteraan raja. Kesejahteraan rakyat itu bukanlah apa saja yang diinginkan oleh raja, namun apa saja yang menjadi kesukaan rakyat, itulah yang mensejahterakan raja (Segara, 2019). 

Kedua pesan ini memandu penulis untuk menyesuaikan pemikiran Kautilya terhadap politik luar negeri Indonesia, dan memberikan gambaran apakah Indonesia mendahulukan kepentingan rakyat dalam politik luar negerinya.

Pemikiran Kautilya dalam urusan luar negeri menghasilkan teori Sadgunya (enam kebijakan luar negeri). Teori Sadgunya membagi praktik kebijakan luar negeri ke dalam 6 bagian, yaitu Samdhi, Vigraha, Yana, Asana, Samsraya, Dvaidhibhava (Colonel PK Gautam, 2017; Segara, 2019).

Samdhi, membuat perjanjian yang berisi syarat dan ketentuan tentang kebijakan perdamaian.

Vigraha, berkenaan dengan kebijakan perang atau antagonisme dalam ruang internasional. 

Yana, kesiapsiagaan negara. Perang adalah sesuatu yang sulit dibendung, maka negara harus bersiap menghadapinya baik dari segi kekuatan internal maupun eksternal (aliansi).

Asana, sikap tinggal diam atau netral. 

Samsraya, menjalin hubungan untuk mendapat dukungan dan aliansi.

Dvaidhibhava, yaitu kebijakan ganda untuk membuat hubungan damai dengan satu negara dan bersikap kontra terhadap negara lainnya.

Kautilya juga mengharuskan negara memiliki kedaulatan agar praktik politik negara diakui oleh domestik atau pun negara lain. Hal-hal yang disampaikan teori Sadgunya ini harus hadir dalam agenda politik luar negeri agar posisi Indonesia aman di tingkat internasional terutama komitmennya terhadap doktrin bebas aktif.

Dinamika Politik Luar Negeri Indonesia

Pergantian rezim dan kondisi politik global menyebabkan interpretasi makna bebas aktif berbeda-beda. 

Pada tahun 1945 hingga 1947, konsep bebas aktif diekstraksi dari Pembukaan UUD 1945 yang menjadikan konsep tersebut dimaknai sebagai bebas dari segala bentuk penjajahan dan aktif terlibat dalam usaha memerangi penjajahan di muka bumi (Yani & Montratama, 2017). Pemaknaan ini berdasarkan situasi Indonesia saat itu dalam menghadapi kolonialisme dan mencari pengakuan dari negara lain.

Sebagai negara yang saat itu baru menyatakan kemerdekaan, Indonesia mencari dukungan kepada negara lain seperti Mesir. Diplomasi menjadi andalan Indonesia untuk menarik simpati internasional agar diakui kemerdekaannya. 

Sesuai dengan konsep Samsraya, Indonesia tidak dapat berdiri sendiri sebagai negara tanpa mengantongi dukungan dari negara lain. Dari sisi diplomasi, Kautilya menyatakan bahwa diplomasi adalah perang potensial untuk mencapai tujuan politik. 

Upaya diplomasi Indonesia saat itu berhasil mendapatkan pengakuan dari negara-negara Timur Tengah.

Selanjutnya pada masa Perdana Menteri Sjarifuddin, makna bebas aktif tidak hanya berarti bebas dari imperialisme, namun juga bebas dari keterlibatan konflik blok barat dan komunis. Politik luar negeri Indonesia saat itu juga diwarnai kesepakatan untuk tidak memihak. di mana Presiden Soekarno memprakarsai Gerakan Non-Blok.

Pada masa PM Hatta, bebas aktif dimaknai sebagai kebebasan untuk menentukan sikap sendiri dan bukan sebagai subjek persaingan kubu komunis dan kapitalis (Yani & Montratama, 2017). Indonesia kala itu tidak ingin disetir oleh dua kepentingan yang sedang bersaing, karena akan merugikan Indonesia yang baru saja merdeka. Sikap ini adalah cerminan dari konsep Asana, yakni sikap netral tanpa harus memihak. 

Di lain kekuasaan, PM Ali Sastroamidjojo justru memanfaatkan momen Perang Dingin dengan mengimbangi hubungan antara Indonesia dan dua kubu. Tindakan tersebut membuka peluang Indonesia untuk bekerjasama tanpa memihak ke salah satu blok.

Indonesia tak hanya menggunakan sikap tidak memihak demi kepentingannya, tetapi juga pernah melakukan sikap antagonisme terhadap Malaysia pada tahun 1962. Konfrontasi tersebut dipicu oleh sengketa wilayah Indonesia-Malaysia dan juga pertentangan Presiden Soekarno terhadap Malaysia yang dianggap sebagai boneka Inggris yang mengancam kemerdekaan Indonesia. 

Sikap antagonisme Indonesia mencerminkan konsep Vigraha, Yana, dan Dvaidhibhava di mana saat itu terjadi provokasi Indonesia terhadap Malaysia hingga bentrokan senjata. Strategi militer dan diplomasi kala itu semata-mata untuk melindungi kemerdekaan Indonesia di masa depan dan juga ketidakinginan Indonesia menjadi ‘samsak’ politik di tengah pengaruh barat. Konfrontasi mereda ketika Soeharto menjadi pemimpin hingga mencapai normalisasi hubungan kedua negara.

Kebijakan politik luar negeri bebas aktif masih relevan hingga kini. Pasca reformasi, politik luar negeri Indonesia dengan percaya diri mengedepankan diplomasi dan kerjasama. 

Indonesia juga aktif berkontribusi menyelesaikan sengketa-sengketa di negara lain sebagai bentuk usaha menggapai cita-citanya; ketertiban dunia. Indonesia bebas menentukan sikap atas masalah internasional tanpa dipengaruhi oleh kutub-kutub kekuatan dunia. 

Samdhi, Yana, Samsraya menjelaskan kebijakan Indonesia saat ini dalam melakukan hubungan dengan negara lain. Strategi kerjasama ini diupayakan untuk mempertahankan keamanan tingkat nasional, regional, serta global.

Sikap Vigraha tampaknya kurang cocok disandingkan dengan kebijakan luar negeri Indonesia di Era Presiden Jokowi. Indonesia justru aktif melaksanakan kemitraan strategis dengan negara lain sehingga sikap antagonis tidak diperlukan. Namun, posisi Indonesia kini mendapat tekanan dari kekuatan besar Tiongkok dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan. 

Jika dibandingkan dengan kekuatan militer Tiongkok, Indonesia sulit bersikap antagonis. 

Sebaliknya, Tiongkoklah yang bersikap asertif pada negara-negara Asia Tenggara. Jalan yang ditempuh Indonesia dalam kasus ini relevan dengan konsep Dvaidhibhava, yaitu melakukan kerjasama di antara negara-negara Asia Tenggara dengan latihan militer bersama di sekitar wilayah sengketa. 

Tindakan tersebut bertujuan untuk mempengaruhi keputusan Tiongkok dalam klaim sembilan garis putus-putusnya yang overlap dengan laut negara-negara ASEAN.

Kekuatan Indonesia yang tidak lebih kuat dari Tiongkok memungkinkan Indonesia untuk membujuk Tiongkok agar tidak mengganggu kedaulatannya dibanding melakukan strategi perlawanan asertif. 

Strategi defensif dalam hal seperti ini pantas dilakukan dibanding menanggung biaya dan resiko lebih besar bagi negara. Kautilya berpesan agar kekuatan lemah senantiasa menjalin pertemanan dengan kekuatan yang lebih kuat.

Penutup

Pemikiran Kautilya tentang politik masih relevan untuk dipelajari dalam kajian strategi. Arthasastra menyediakan unsur-unsur yang harus dimiliki negara terlepas dari lemah atau kuatnya negara tersebut. Bagi Indonesia, kebijakan politiknya dengan negara lain menunjukkan nuansa konfliktual hingga koperatif. 

Tentunya tiap generasi yang memegang kekuasaan memiliki strategi yang berbeda mengikuti tren politik dunia.

Kebijaksanaan Kautilya harus menjadi cerminan dalam menentukan kebijakan luar negeri. Dedikasi seorang pemimpin demi kesejahteraan rakyat adalah poin penting dalam memegang kekuasaan. 

Arthasastra memadukan etika, religiusitas, dan politik kenegaraan untuk dapat diaplikasikan pemimpin negara dalam menggunakan wewenangnya. Pemikiran Kautilya harus dipahami secara matang agar tujuan politik negara dapat dicapai. 

Tujuan politik negara tidak hanya dapat dicapai dengan cara militeristik, namun juga dapat dikerahkan oleh seluruh elemen negara sehingga proses mencapai tujuan lebih efektif.

Referensi

Baylis, J., Wirtz, J., Cohen, E., & Gray, C. S. (2002). Strategy in the Contemporary World: An Introduction to Strategic Studies (1st ed.). Oxford University Press.

Colonel PK Gautam. (2017, April). Kautilya’s Arthashastra and its Relevance to Contemporary Strategic Studies – USI. The United Service Institution of India. https://usiofindia.org/publication/usi-journal/kautilyas-arthashastra-and-its-relevance-to-contemporary-strategic-studies/

Segara, I. N. Y. (2019). Kautilya Arthasastra Jejak Pemikiran Politik Hindu (1st ed.). CV. Setia Bakti.

Yani, Y. M., & Montratama, I. (2017). Quo Vadis: Politik Luar Negeri Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun