Mohon tunggu...
Muhamad Devasso Azzura Adam
Muhamad Devasso Azzura Adam Mohon Tunggu... Freelancer - Pengamat

Sering memikirkan apa yang tidak seharusnya dipikirkan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemikiran Kautilya dan Kaitannya dengan Siasat Politik Luar Negeri Indonesia

3 Desember 2021   19:50 Diperbarui: 18 Desember 2021   00:44 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dinamika Politik Luar Negeri Indonesia

Pergantian rezim dan kondisi politik global menyebabkan interpretasi makna bebas aktif berbeda-beda. 

Pada tahun 1945 hingga 1947, konsep bebas aktif diekstraksi dari Pembukaan UUD 1945 yang menjadikan konsep tersebut dimaknai sebagai bebas dari segala bentuk penjajahan dan aktif terlibat dalam usaha memerangi penjajahan di muka bumi (Yani & Montratama, 2017). Pemaknaan ini berdasarkan situasi Indonesia saat itu dalam menghadapi kolonialisme dan mencari pengakuan dari negara lain.

Sebagai negara yang saat itu baru menyatakan kemerdekaan, Indonesia mencari dukungan kepada negara lain seperti Mesir. Diplomasi menjadi andalan Indonesia untuk menarik simpati internasional agar diakui kemerdekaannya. 

Sesuai dengan konsep Samsraya, Indonesia tidak dapat berdiri sendiri sebagai negara tanpa mengantongi dukungan dari negara lain. Dari sisi diplomasi, Kautilya menyatakan bahwa diplomasi adalah perang potensial untuk mencapai tujuan politik. 

Upaya diplomasi Indonesia saat itu berhasil mendapatkan pengakuan dari negara-negara Timur Tengah.

Selanjutnya pada masa Perdana Menteri Sjarifuddin, makna bebas aktif tidak hanya berarti bebas dari imperialisme, namun juga bebas dari keterlibatan konflik blok barat dan komunis. Politik luar negeri Indonesia saat itu juga diwarnai kesepakatan untuk tidak memihak. di mana Presiden Soekarno memprakarsai Gerakan Non-Blok.

Pada masa PM Hatta, bebas aktif dimaknai sebagai kebebasan untuk menentukan sikap sendiri dan bukan sebagai subjek persaingan kubu komunis dan kapitalis (Yani & Montratama, 2017). Indonesia kala itu tidak ingin disetir oleh dua kepentingan yang sedang bersaing, karena akan merugikan Indonesia yang baru saja merdeka. Sikap ini adalah cerminan dari konsep Asana, yakni sikap netral tanpa harus memihak. 

Di lain kekuasaan, PM Ali Sastroamidjojo justru memanfaatkan momen Perang Dingin dengan mengimbangi hubungan antara Indonesia dan dua kubu. Tindakan tersebut membuka peluang Indonesia untuk bekerjasama tanpa memihak ke salah satu blok.

Indonesia tak hanya menggunakan sikap tidak memihak demi kepentingannya, tetapi juga pernah melakukan sikap antagonisme terhadap Malaysia pada tahun 1962. Konfrontasi tersebut dipicu oleh sengketa wilayah Indonesia-Malaysia dan juga pertentangan Presiden Soekarno terhadap Malaysia yang dianggap sebagai boneka Inggris yang mengancam kemerdekaan Indonesia. 

Sikap antagonisme Indonesia mencerminkan konsep Vigraha, Yana, dan Dvaidhibhava di mana saat itu terjadi provokasi Indonesia terhadap Malaysia hingga bentrokan senjata. Strategi militer dan diplomasi kala itu semata-mata untuk melindungi kemerdekaan Indonesia di masa depan dan juga ketidakinginan Indonesia menjadi ‘samsak’ politik di tengah pengaruh barat. Konfrontasi mereda ketika Soeharto menjadi pemimpin hingga mencapai normalisasi hubungan kedua negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun