Mohon tunggu...
Tari Abdullah
Tari Abdullah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nama lengkap Mudjilestari tapi lebih sering disapa dengan Tari Abdullah profesi sebagai penulis, conten creator, dan motivator. Ibu dari 4 anak berstatus sebagai single parent. Berdarah campuran sunda - jawa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Cinta Tak Bersyarat

4 Juni 2020   06:46 Diperbarui: 4 Juni 2020   06:52 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/cinta/photo: doc.pri

"Apa tidak ada tindakan lain, Dok?"

Dokter Sonya menggeleng pelan, memahami benar keresahan seorang suami yang takut kehilangan istrinya.

"Tindakan kedua berupa Imonoglobulin Intravena, yaitu menyuntikkan Gamaras melalui infus. Dan hanya bisa dilakukan bila tindakan pertama telah berhasil."

Anan meninggalkan ruangan Dokter Sonya dengan langkah gemetar. Bahu laki-laki kekar itu terguncang hebat, bendungannya jebol, wajahnya basah oleh lelehan air mata,  begitu takut, tak tahu harus berbuat apa. Laki-laki itu  takut kehilangan Gischa, terbayang Hamzah yang baru berumur satu bulan masih membutuhkan ASI dan kasih sayang ibunya.

Dipandanginya tubuh lemah Gischa, yang terbaring tak berdaya dengan begitu banyak selang dan tabung menancap di tubuhnya, berfungsi sebagai dengan alat bantu.  Bahkan untuk bernapas pun harus dengan tabung yang dipasang di lehernya.

Selama Gischa dirawat sesekali Anan membawa Hamzah untuk menemuinya dan meletakkan di dadanya. Walau Gischa tak dapat memeluk Hamzah, tapi Anan yakin Gischa bisa merasakan dekat dengan bayinya. Anan berharap dengan cara itu, Gischa akan terbangun kembali.
Walau sejauh ini belum ada tanda-tanda Gischa sadar dari komanya, bahkan makin memburuk. Dokter Sonya hanya mengangkat tangan dengan mimik yang tak bisa diartiikan, harapan hidup Gisch makin tipis. Mungkin hanya mujizat Sang Kuasa yang bisa merubah keadaan.

Malam itu Anan berdiri di samping ranjang Gischa, menatap dengan perasaan lantak wajah perempuan yang begitu dicintainya itu. Tubuh Gischa makin nampak ringkih dengan selang dan tabung pernapasan yang terpasang di lehernya. Wajahnya makin tirus hingga menampakkan tulang pipinya menonjol. Kalau saja ia bisa menggantikan posisinya..

Anan menghela napas panjang, ia butuh udara segar untuk menenangkan ricuh pikirannya. Melangkah meninggalkan ruangan, membawa beban berat yang terasa makin menindihnya.  Ia berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Enam minggu Gischa mengalami koma, selama itu pula hidupnya seperti layang-layang yang diterbangkan angin tak tentu arah.

Ada tarikan yang menggerakkan kakinya menuju Masjid di area Rumah Sakit. Selama ini Anan hampir tak pernah sholat jamaah di Masjid, walau selalu tepat menjalankan sholat lima waktu, tapi hampir tak pernah berakhir khusuk karena harus berkejaran dengan janji bertemu klien dan urusan lain.

Anan mengambil wudhu dan menunaikan sholat Isya. Kali ini sujudnya lebih panjang, matanya menatap kosong hamparan sajadah di hadapannya.

"Apabila seorang hamba memiliki banyak dosa, sedangkan ia tidak memiliki suatu amalan di luar amalan wajib yang dapat menggugurkan dosanya tersebut, maka Allah pun akan memberikan ujian untuk menggugurkan dosanya  jika ia bersabar"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun