Dengan demikian, negara justru menjadi fasilitator yang memungkinkan terjadinya eksploitasi sistemik terhadap generasi muda. Ketika negara gagal menjalankan fungsi protektifnya, maka perusahaan memiliki kebebasan penuh untuk menentukan hubungan kerja yang menguntungkan mereka, tanpa memperhitungkan hak dan kesejahteraan para magang. Di sisi lain, institusi pendidikan pun turut berperan dalam reproduksi sistem ini.Â
Banyak universitas mewajibkan program magang sebagai syarat kelulusan, namun tidak memiliki mekanisme pengawasan yang jelas terhadap kualitas dan keadilan program tersebut.Â
Mahasiswa didorong untuk mencari tempat magang sendiri, tanpa pendampingan, tanpa negosiasi kontrak kerja yang adil, dan tanpa perlindungan hukum. Maka, relasi antara pendidikan tinggi dan dunia kerja berubah menjadi relasi antara produsen dan konsumen: mahasiswa diproduksi sebagai komoditas yang siap dipasarkan, sementara perusahaan menjadi konsumen yang bebas memilih, menggunakan, dan membuang tenaga kerja muda sesuai kepentingannya.
Pada kerangka pemikiran Marx, ini adalah bentuk nyata dari reifikasi: ketika manusia diperlakukan sebagai barang atau alat produksi. Mahasiswa tidak lagi dilihat sebagai individu dengan nilai intrinsik, melainkan sebagai sumber daya yang dapat digunakan untuk mencapai target produksi. Dalam dunia kerja magang unpaid, yang dihargai bukanlah individu dan potensi manusianya, melainkan seberapa besar nilai guna yang bisa dihasilkan tanpa harus membayar.Â
Reifikasi ini menghilangkan aspek kemanusiaan dari relasi kerja, dan menjadikan sistem magang tidak ubahnya ladang eksploitasi yang dilegalkan dan bahkan diberi legitimasi moral. Realitas ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak---negara, institusi pendidikan, dan masyarakat sipil---untuk mengkaji ulang sistem magang unpaid yang selama ini dianggap wajar.Â
Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan generasi muda bekerja tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa pengakuan, dengan dalih "pengalaman". Bila sistem ini terus dibiarkan, maka kita sedang membangun masyarakat yang tidak menghargai kerja keras, dan membiarkan kapital terus mengambil alih potensi generasi penerus bangsa hanya demi akumulasi keuntungan sepihak.Â
Dalam semangat pemikiran Marx, perubahan hanya dapat terjadi apabila kelas yang tereksploitasi menyadari posisinya dan mulai membentuk kesadaran kolektif. Mahasiswa sebagai bagian dari kelas pekerja muda harus mulai memahami bahwa mereka bukan sekadar pelajar, tetapi juga aktor produksi yang memiliki hak atas nilai kerja mereka.Â
Mereka harus mampu membangun solidaritas, memperjuangkan regulasi yang adil, dan menolak praktik magang unpaid yang merugikan. Hanya dengan demikian, sistem kerja yang eksploitatif ini dapat diubah menjadi sistem yang manusiawi, berkeadilan, dan benar-benar mendidik.
Melalui analisis kritis terhadap praktik magang tanpa bayaran dengan pendekatan teori Karl Marx, dapat disimpulkan bahwa sistem ini tidak hanya mencerminkan bentuk eksploitasi kelas yang nyata, tetapi juga memperkuat ketimpangan sosial dan ekonomi yang diwariskan secara struktural.Â
Mahasiswa yang seharusnya mendapat pengalaman belajar justru dimasukkan dalam pusaran relasi produksi kapitalis yang menempatkan mereka sebagai tenaga kerja gratis demi akumulasi modal. Alih-alih menciptakan peluang kesetaraan, magang unpaid memperdalam jurang antara mereka yang memiliki akses terhadap privilese sosial dan mereka yang terpaksa tersisih karena tuntutan ekonomi.Â
Selama praktik ini terus dinormalisasi oleh negara, institusi pendidikan, dan masyarakat, maka upaya menciptakan keadilan sosial dalam dunia kerja hanya akan menjadi wacana kosong. Perubahan tidak akan datang dengan sendirinya; ia menuntut kesadaran kolektif dari generasi muda untuk menolak sistem yang eksploitatif, serta memperjuangkan regulasi dan kebijakan yang menghargai nilai kerja setiap individu.Â