Magang tanpa bayaran telah menjadi fenomena yang menjamur di kalangan mahasiswa dan lulusan baru di Indonesia. Program ini dikemas sebagai wadah "belajar sambil bekerja," namun praktiknya justru menyamarkan bentuk eksploitasi terhadap tenaga kerja muda yang semakin tersubordinasi dalam struktur ekonomi neoliberal.Â
Semakin hari, ketidakadilan ini terus dinormalisasi oleh institusi pendidikan, perusahaan, bahkan masyarakat itu sendiri, seolah-olah menjadi bagian tak terhindarkan dari proses transisi menuju dunia kerja.Â
Di balik narasi pembangunan sumber daya manusia dan penguatan kapasitas individu, tersembunyi relasi kuasa yang timpang antara pemilik modal dan generasi muda yang sedang berjuang memperoleh pijakan awal dalam dunia kerja. Fenomena ini menjadi medan analisis yang sangat relevan jika dikaji menggunakan kerangka teori Karl Marx, khususnya dalam konteks eksploitasi, alienasi, dan reproduksi struktur kelas dalam masyarakat kapitalis.
Pada perspektif Marx, kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang dibangun di atas relasi antara dua kelas utama: borjuis (pemilik modal) dan proletar (kelas pekerja). Hubungan antara kedua kelas ini tidak bersifat setara, melainkan ditandai oleh eksploitasi sistematis yang dilakukan oleh kelas borjuis untuk memperoleh keuntungan maksimal melalui penciptaan nilai lebih (surplus value).Â
Magang unpaid dapat dipahami sebagai bentuk eksploitasi ekstrem karena mahasiswa yang berstatus sebagai tenaga kerja tidak hanya dibayar di bawah standar, tetapi sama sekali tidak diberi kompensasi finansial.Â
Mereka tetap bekerja secara produktif, menyumbangkan tenaga, waktu, bahkan ide-ide kreatif bagi perusahaan, namun tidak memperoleh upah sebagai bentuk pengakuan atas nilai kerja yang telah mereka hasilkan. Dengan kata lain, surplus value yang mereka ciptakan sepenuhnya diambil alih oleh pemilik modal, tanpa mekanisme redistribusi yang adil. Ironisnya, eksploitasi ini seringkali tidak disadari, bahkan oleh korbannya sendiri.
Sebagai contoh konkret, data dari laporan Project Multatuli pada tahun 2022 menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa yang mengikuti program magang di Indonesia bekerja lebih dari 8 jam sehari, dengan beban kerja yang setara dengan pegawai tetap.Â
Namun, mereka tidak menerima bayaran, tunjangan, maupun pendampingan yang layak. Salah satu responden dalam survei tersebut bahkan menyatakan bahwa ia diberi tanggung jawab penuh dalam mengelola proyek klien, mulai dari perencanaan hingga eksekusi, namun tidak mendapatkan kompensasi apa pun.Â
Ini membuktikan bahwa praktik ini bukan sekadar "latihan", melainkan bentuk kerja nyata yang menghasilkan keuntungan langsung bagi perusahaan, tanpa imbal balik bagi mahasiswa. Penting untuk menyoroti perbedaan mendasar antara magang tanpa bayaran dan pekerjaan formal yang sebenarnya, di mana seseorang dipekerjakan dengan status yang sah dan mendapatkan kompensasi yang layak.Â