Institusi pendidikan seringkali menganggap magang tanpa bayaran sebagai bagian dari kewajiban pendidikan yang harus dipenuhi oleh mahasiswa, tanpa memberikan perhatian lebih pada kondisi kesejahteraan mereka selama program magang.
 Mahasiswa didorong untuk mencari tempat magang sendiri, tanpa pendampingan, tanpa negosiasi kontrak kerja yang adil, dan tanpa perlindungan hukum. Maka, relasi antara pendidikan tinggi dan dunia kerja berubah menjadi relasi antara produsen dan konsumen: mahasiswa diproduksi sebagai komoditas yang siap dipasarkan, sementara perusahaan menjadi konsumen yang bebas memilih, menggunakan, dan membuang tenaga kerja muda sesuai kepentingannya.
Mereka yang mampu "bertahan" dalam sistem magang unpaid umumnya berasal dari keluarga kelas menengah ke atas, yang tidak perlu terlalu memikirkan pemasukan harian atau biaya hidup. Sebaliknya, mahasiswa dari keluarga kelas bawah tidak memiliki kemewahan tersebut.Â
Mereka kerap harus memilih antara mengambil pengalaman magang unpaid atau mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan pendapatan, meskipun itu berarti kehilangan peluang untuk memperluas jaringan atau membangun portofolio profesional.Â
Sistem ini secara tidak langsung mereproduksi ketimpangan kelas sosial: yang kaya semakin diuntungkan oleh modal sosial dan pengalaman, sedangkan yang miskin terus terpinggirkan dari akses terhadap mobilitas sosial yang sejatinya dijanjikan oleh sistem pendidikan dan kerja.Â
Lebih jauh lagi, relasi eksploitasi dalam magang unpaid tidak dapat dipisahkan dari proses perluasan akumulasi kapital. Perusahaan-perusahaan di sektor kreatif, media, teknologi, bahkan lembaga sosial menggunakan program magang sebagai cara efisien untuk menekan biaya operasional.Â
Mereka tidak perlu mempekerjakan staf tetap dengan gaji dan jaminan sosial, karena mahasiswa siap bekerja dengan status "magang" tanpa tuntutan legal. Dalam hal ini, mereka bukan sekadar tenaga kerja murah, tetapi tenaga kerja gratis yang diproduksi oleh sistem pendidikan, didistribusikan ke pasar kerja, dan dikonsumsi oleh kapital.
Perubahan dalam sistem magang tanpa bayaran memerlukan aksi kolektif dari mahasiswa, pemerintah, dan lembaga pendidikan untuk mereformasi sistem yang eksploitatif. Pemerintah harus menetapkan standar minimal untuk program magang, sementara kampus wajib menyediakan pengawasan yang ketat dan perlindungan hukum bagi mahasiswanya.Â
Sementara itu, mahasiswa harus diberdayakan untuk memahami hak-hak mereka sebagai pekerja muda, dan didorong untuk membentuk solidaritas yang dapat menjadi kekuatan kolektif dalam menolak praktik eksploitatif ini. Hanya melalui transformasi struktural dan kesadaran kolektif, sistem magang unpaid dapat digantikan dengan sistem yang adil, setara, dan manusiawi.
Sistem ini dengan sempurna menggambarkan bagaimana kapitalisme telah menciptakan bentuk-bentuk baru eksploitasi yang dibungkus dengan narasi pembangunan dan pengembangan diri. Jika ditelusuri lebih dalam, sistem magang unpaid juga mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak tenaga kerja muda.Â
Di Indonesia, regulasi mengenai magang masih sangat lemah, bahkan nyaris tidak ada. Pemerintah tidak menetapkan standar upah minimum untuk program magang, tidak mengawasi kondisi kerja para intern, dan tidak menetapkan kewajiban perusahaan dalam memberikan pelatihan atau bimbingan yang seharusnya menjadi bagian dari program magang.Â