Dalam magang unpaid, individu tidak memiliki kontrak kerja yang melindungi hak-haknya, seperti jam kerja, tunjangan, atau cuti. Meski tanpa status formal, mereka tetap diminta berkontribusi secara penuh. Ketimpangan inilah yang menunjukkan bagaimana kapitalisme mampu mengeksploitasi tenaga kerja dengan dalih "kesempatan belajar".Â
Eksploitasi tersebut diperparah oleh ideologi meritokrasi yang telah meresap dalam benak generasi muda. Mahasiswa diajarkan bahwa kerja keras dan pengalaman akan membuahkan hasil, tanpa mempertanyakan struktur ketimpangan yang membuat hasil itu hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki privilege.Â
Praktik ini bukan hanya soal kerja tanpa bayaran, tetapi juga bentuk reproduksi ketimpangan kelas yang terstruktur. Sistem ini tidak hanya melanggengkan ketimpangan ekonomi, tetapi juga menciptakan ketimpangan simbolik.Â
Mahasiswa yang memiliki pengalaman magang unpaid di perusahaan besar lebih dihargai dalam pasar kerja, dibandingkan mereka yang tidak memiliki kesempatan karena alasan ekonomi. Maka, magang unpaid menjadi kapital simbolik yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki modal sosial dan ekonomi.Â
Ketimpangan ini berlipat ganda: mereka yang memiliki modal akan terus menambah modal, sementara mereka yang tidak punya, makin tertinggal. Inilah bentuk nyata dari apa yang disebut Marx sebagai pemusatan kapital. Selain faktor sosial dan ekonomi, media dan platform digital turut berperan besar dalam normalisasi magang tanpa bayaran.Â
Melalui narasi inspiratif yang dibagikan oleh influencer atau perusahaan, magang unpaid sering kali dipromosikan sebagai "kesempatan emas" untuk membangun relasi dan portofolio.Â
Representasi ini secara halus menutupi realitas eksploitasi, dan menciptakan tekanan sosial bagi mahasiswa untuk menerima kondisi tersebut sebagai norma. Hal ini menunjukkan bagaimana ideologi dominan dapat bekerja melalui alat-alat budaya populer, memperkuat struktur kapitalis dalam benak generasi muda. Pemerintah sebagai regulator juga turut andil dalam membiarkan sistem ini berjalan tanpa kendali.
Dalam teori ideologi Marx, dominasi kelas tidak hanya dijalankan melalui kontrol ekonomi dan politik, tetapi juga melalui hegemoni kultural, yakni cara berpikir yang secara halus membenarkan ketidakadilan sebagai sesuatu yang alamiah.Â
Mahasiswa yang mengikuti magang unpaid sering merasa beruntung telah "diberi kesempatan belajar," meskipun mereka bekerja penuh waktu dengan beban tugas dan tekanan yang sama seperti karyawan tetap.Â
Mereka cenderung menilai bahwa pengalaman tersebut adalah investasi jangka panjang, meskipun realitasnya perusahaan memanfaatkan kerentanan mereka untuk memperoleh tenaga kerja murah---atau bahkan gratis. Inilah bentuk alienasi yang sangat nyata: mahasiswa teralienasi dari hasil kerjanya sendiri, dari makna pekerjaan yang ia lakukan, bahkan dari dirinya sebagai subjek yang memiliki hak-hak dasar sebagai pekerja. Alienasi ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga memperkuat struktur kelas yang timpang secara sistemik.
Sistem pendidikan, yang seharusnya berfungsi sebagai jembatan untuk mobilitas sosial dan pemberdayaan, malah semakin memperburuk ketimpangan sosial-ekonomi melalui pembiaran praktik magang unpaid.Â