Judul yang tertulis di atas mungkin sudah sering pembaca lihat di beberapa artikel, daftar baca ataupun pemberitaan lainnya, baik di media cetak maupun media online. Namun di sini, kita masih bicara tentang hal tersebut dari refleksi pribadi saya. Bukan ingin berlaku angkuh ataupun menggurui, namun inilah cara saya agar bisa berbagi pengalaman dan pandangan hidup tentang dunia perkebunan yang sudah saya selami selama tiga dekade. Dalam waktu tersebut saya mengabdikan diri di dunia perkebunan---sebuah perjalanan panjang yang membawa saya dari level asisten lapangan hingga dipercaya memimpin wilayah strategis di Sumatera dan Jawa sebagai Area Manager Agronomy. Di sepanjang perjalanan tersebut, saya melihat bahwa industri perkebunan tak pernah statis. Ia selalu bergerak, menyesuaikan diri, dan ditantang oleh dinamika zaman. Hari ini, saya ingin mengulas secara jujur dan terbuka tantangan global yang sedang dan akan terus dihadapi oleh dunia perkebunan, terutama di Indonesia.
Berbagai presentasi internal dari pelaku industri, juga beberapa isu global yang sudah banyak berkembang saat ini, semakin menguatkan keyakinan saya bahwa perubahan besar sudah ada di depan mata. Ini bukan sekadar tantangan domestik, melainkan tantangan yang bersifat global---dimulai dari krisis iklim, tekanan pasar internasional, revolusi teknologi, hingga perubahan perilaku konsumen. Dalam tulisan ini, saya mencoba memetakan tantangan-tantangan tersebut, bukan hanya berdasarkan data dan tren, tapi juga dari sudut pandang praktisi lapangan yang telah melalui asam garam dunia perkebunan.
Tantangan Global Dunia Perkebunan 10 Tahun Mendatang
1. Digitalisasi dan Mekanisasi Jadi Standar Global
Terpantau dalam beberapa tahun terakhir, di sisi operasional perkebunan banyak terjadi transformasi. Pemanfaatan teknologi digital dan mekanisasi sudah bukan lagi pilihan, tapi kewajiban. Misalnya saja: pemetaan lahan yang sudah menggunakan bantuan drone, sistem pemupukan tanaman sudah berdasarkan data, pelaporan panen konveksional sudah berubah menjadi sistem pelaporan berbasis dashboard digital---semua ini sudah mulai diterapkan. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa memastikan bahwa seluruh sistem ini bisa berjalan di semua level kebun, bukan hanya sebagai proyek percontohan di pusat.
Akan tetapi di sini saya menggarisbawahi satu hal penting, yaitu: teknologi dan digitalisasi hanyalah sebuah perangkat atau alat. Yang membuatnya efektif adalah kesiapan sumber daya manusia. Banyak kegagalan implementasi terjadi karena kurangnya pelatihan, komunikasi, dan pendampingan. Di tengah arus transformasi digital ini, kita tidak boleh melupakan bahwa manusia tetap menjadi inti dari seluruh perubahan.
2. Isu Lingkungan Mendominasi Regulasi Global
Dunia sedang bergerak ke arah yang lebih sadar lingkungan. Dalam dunia ekspor-impos, misal ke wilayah Eropa, isu penggundulan hutan dan keberlanjutan sekarang menjadi syarat mutlak. Bukan lagi sekadar sertifikasi seperti RSPO atau ISPO yang penting, melainkan sistem transparansi penuh dari hulu ke hilir---termasuk keterlacakan produk dari lahan hingga ke konsumen akhir.
Saya sangat mendukung pendekatan ini, karena di balik tuntutan lingkungan sebenarnya terdapat panggilan moral untuk generasi mendatang. Pengelolaan limbah yang lebih baik, konversi limbah menjadi energi, hingga pengurangan emisi karbon adalah langkah yang tak bisa ditawar lagi. Jika tidak segera dilakukan, kita berisiko kehilangan pasar yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor.
3. Degradasi Lahan -- Bahaya yang Sering Diabaikan
Sebagai orang yang pernah memimpin puluhan ribu hektar kebun, saya tahu persis betapa fatalnya dampak dari eksploitasi lahan tanpa rehabilitasi. Yang jarang disadari, musuh yang bergerak perlahan namun pasti, adalah penurunan kesuburan tanah. Hari ini produktif, lima tahun lagi stagnan, sepuluh tahun ke depan bisa mati suri jika tidak dikelola dengan prinsip berkelanjutan.