Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Humor Terakhir: Lagi, Dua Puisi Kompasianer yang Bikin Ngakak Guling-guling

13 Oktober 2025   11:57 Diperbarui: 13 Oktober 2025   11:57 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Fiksiana (Tangkapan Layar Kompasiana)

“Seorang punya mantan satu rak buku. Seorang lagi, kata-kata puitisnya adalah bulu ketiak.”

Ini humor terakhir dariku. Sebab, sejatinya, statusku ngambek nulis humor. 

Hanya saja, aku teringat, dalam suatu pertunjukan musik lazim ada lagu terakhir setelah (pura-pura) udahan. Semacam last kiss before ghosting, mungkin.

Jelas, aku menulis humor ini bukan karena dayu rayu sendu Mas S. Aji dan Uda Merza Gamal lewat artikelnya di Kompasiana. Juga bukan karena rayu rindu kompasianer di kolom komentar. Bukan. 

Sebab, “Ku mau tak seorang ‘kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu,” kata Chairil Anwar. Larik itu gue banget, by the way

Kebetulan saja ada dua puisi kompasianer kiwari yang bikin aku ngakak guling-guling (lagi). “Seorang Perempuan di Hadapan Buku-buku” anggitan Lilik Fatimah Azzahra atawa Nyai Fatimah (K. 11.10.25)  dan “Langkah Kedua” anggitan Ayah Tuah (K. 10.10.25).

“Setori berlanjut,” begitu mungkin batin kompasianer yang mengikuti perseteruanku dengan Ayah Tuah. Awalnya gegara artikelku “Dua Puisi Kompasianer yang Bikin Ngakak Guling-guling” (K. 29.12.2022). Itu kritikku pada frasa “lubang sumur” dalam Puisi Nyai Fatimah dan frasa “punggung kabel listrik” dalam puisi Ayu Diah Astuti. Kocaknya, yang hidup-hidupan membela kedua puisiwati itu adalah puisiwan Ayah Tuah (“Saat Felix Tani Bicara Lubang, Punggung, dan Licentia Poetica”, K. 07.01.23). Ada apa, ya.

“Dan terjadi lagi” (Noah, 2012), kini.

Ilustrasi puisi Lilik Fatimah Azzahra,
Ilustrasi puisi Lilik Fatimah Azzahra, "Seorang Perempuan di Hadapan Buku-buku" (Sumber: vecteezy.com/lilik fatimah azzahra-kompasiana com)

Mantan Satu Rak Buku

“Pagi ini, seorang perempuan berdiri di hadapan buku-buku. Yang sekian lama terabaikan tidak tersentuh.” Demikian bait pertama puisi Nyai Fatimah.

Bait-bait selanjutnya, dia menimang buku bersampul biru, dia “... cinta pertama.” Lalu buku kedua bersampul hitam, dia “... kekasih yang pernah gigih kuperjuangkan.” Terakhir, buku ketiga, tanpa judul, dia adalah “... diriku sendiri.”

Majas personifikasi yang apik, sebenarnya. Mantan diibaratkan buku yang tersimpan di rak.  Mantan pertama: cinta pertama; mantan kedua: kasih tak sampai. Yang kedua ini mungkin ghosting atau cinta tanpa balas, hanya  tepuk sebelah tangan, gagal tepuk sakinah. 

Aneh, sebenarnya, sih. Mantan kok disimpan rapih di rak hati.  Bukannya dibuang jauh ke “lubang sumur”, atau dicampakkan  ke “punggung kabel listrik.” 

Tapi aku teringat, dia Nyai Fatimah. Dia bisa bikin apa saja. Makanya Ayah Tuah, yang mengaku gurunya,  termehek-mehek. Guru kok termehek-mehek pada murid. Gak ada gengsi, tauk.

Tapi benarkah Nyai Fatimah punya cuma dua mantan? Ini yang bikin aku ngakak. Periksa foto ilustrasi puisinya. Seorang perempuan menghadapi satu rak buku penuh. Isinya ratusan buku.

Pertanyaanku, gimana cara dan rasanya punya ratusan mantan? Kompasianer Novia Respati aja, cuma (ngakunya) punya >1 tapi <5 mantan sudah mengklaim diri sebagai ahli mantanologi. 

Bagaimana kalau punya mantan ratusan, macam Nyai Fatimah. Kupastikan dia seorang Mahaguru  Mantanologi atau, lebih tepat lagi, Founding Mother of Mantanology. Waspadalah dirimu, wahai Ayah Tuah.

Ilustrasi puisi Ayah Tuah
Ilustrasi puisi Ayah Tuah "Langkah Kedua" (Sumber: Ylanite-pixabay/ayah tuah-kompasiana.com)

Kata-kata Puitis itu Bulu Ketiak

“Dan kata-kata selalu tumbuh meski dihimpit keluh dan peluh.” Ayah Tuah menutup puisinya dengan baris kalimat itu.

Selarik kalimat yang sungguh heroik, kan?

Tapi tunggu dulu. Frasa “... selalu tumbuh meski dihimpit keluh dan peluh” itu mengingatkanku pada sesuatu yang rada saru: bulu ketiak. Bulu ketiak (seorang perempuan di hadapan buku-buku) selalu tumbuh meski dihimpit keluh(nya) dan peluh (di ketiaknya). 

Lantas, apa maknanya itu. Sangat jelas, bagi Ayah Tuah kata-kata puitis itu adalah bulu ketiak. Mereka selalu tumbuh meski dihimpit keluh dan peluh, dan dengan demikian menjadi puisi. Jadi, boleh dibilang, ketiak berbulu lebat itu adalah sebuah puisi.

Hahaha. Ups, apa cuma aku yang ngakak di sini?

Ketiak berbulu adalah puisi. Jijay? Itu gagasan Ayah Tuah, lho. Jika kamu keberatan, silahkan unjuk rasa ke lapaknya. Jangan ke rumahnya, kecuali kamu mau menjarah hartanya, memanfaatkan momentum unjuk rasa di depan gerbang gedung DPR. 

Humor Terakhir

Izinkan aku menyanyikan setengah bait penutup lagu “Bunga Terakhir” (Bebi Romeo, 2005). Dengan segala maaf kepada Bebi, kata “bunga” kuganti dengan kata  “humor”.

“Humor terakhir. Menjadi satu kenangan yang tersimpan. Takkan pernah hilang 'tuk selamanya”

Tertawalah untuk terakhir kali. Agar kamu tahu, tertawa itu priceless. Seluruh K-Rewards takkan bisa membelinya. [eFTe]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun