“Seorang punya mantan satu rak buku. Seorang lagi, kata-kata puitisnya adalah bulu ketiak.”
Ini humor terakhir dariku. Sebab, sejatinya, statusku ngambek nulis humor.
Hanya saja, aku teringat, dalam suatu pertunjukan musik lazim ada lagu terakhir setelah (pura-pura) udahan. Semacam last kiss before ghosting, mungkin.
Jelas, aku menulis humor ini bukan karena dayu rayu sendu Mas S. Aji dan Uda Merza Gamal lewat artikelnya di Kompasiana. Juga bukan karena rayu rindu kompasianer di kolom komentar. Bukan.
Sebab, “Ku mau tak seorang ‘kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu,” kata Chairil Anwar. Larik itu gue banget, by the way.
Kebetulan saja ada dua puisi kompasianer kiwari yang bikin aku ngakak guling-guling (lagi). “Seorang Perempuan di Hadapan Buku-buku” anggitan Lilik Fatimah Azzahra atawa Nyai Fatimah (K. 11.10.25) dan “Langkah Kedua” anggitan Ayah Tuah (K. 10.10.25).
“Setori berlanjut,” begitu mungkin batin kompasianer yang mengikuti perseteruanku dengan Ayah Tuah. Awalnya gegara artikelku “Dua Puisi Kompasianer yang Bikin Ngakak Guling-guling” (K. 29.12.2022). Itu kritikku pada frasa “lubang sumur” dalam Puisi Nyai Fatimah dan frasa “punggung kabel listrik” dalam puisi Ayu Diah Astuti. Kocaknya, yang hidup-hidupan membela kedua puisiwati itu adalah puisiwan Ayah Tuah (“Saat Felix Tani Bicara Lubang, Punggung, dan Licentia Poetica”, K. 07.01.23). Ada apa, ya.
“Dan terjadi lagi” (Noah, 2012), kini.
Mantan Satu Rak Buku
“Pagi ini, seorang perempuan berdiri di hadapan buku-buku. Yang sekian lama terabaikan tidak tersentuh.” Demikian bait pertama puisi Nyai Fatimah.
Bait-bait selanjutnya, dia menimang buku bersampul biru, dia “... cinta pertama.” Lalu buku kedua bersampul hitam, dia “... kekasih yang pernah gigih kuperjuangkan.” Terakhir, buku ketiga, tanpa judul, dia adalah “... diriku sendiri.”
Majas personifikasi yang apik, sebenarnya. Mantan diibaratkan buku yang tersimpan di rak. Mantan pertama: cinta pertama; mantan kedua: kasih tak sampai. Yang kedua ini mungkin ghosting atau cinta tanpa balas, hanya tepuk sebelah tangan, gagal tepuk sakinah.
Aneh, sebenarnya, sih. Mantan kok disimpan rapih di rak hati. Bukannya dibuang jauh ke “lubang sumur”, atau dicampakkan ke “punggung kabel listrik.”
Tapi aku teringat, dia Nyai Fatimah. Dia bisa bikin apa saja. Makanya Ayah Tuah, yang mengaku gurunya, termehek-mehek. Guru kok termehek-mehek pada murid. Gak ada gengsi, tauk.
Tapi benarkah Nyai Fatimah punya cuma dua mantan? Ini yang bikin aku ngakak. Periksa foto ilustrasi puisinya. Seorang perempuan menghadapi satu rak buku penuh. Isinya ratusan buku.
Pertanyaanku, gimana cara dan rasanya punya ratusan mantan? Kompasianer Novia Respati aja, cuma (ngakunya) punya >1 tapi <5 mantan sudah mengklaim diri sebagai ahli mantanologi.
Bagaimana kalau punya mantan ratusan, macam Nyai Fatimah. Kupastikan dia seorang Mahaguru Mantanologi atau, lebih tepat lagi, Founding Mother of Mantanology. Waspadalah dirimu, wahai Ayah Tuah.
Kata-kata Puitis itu Bulu Ketiak
“Dan kata-kata selalu tumbuh meski dihimpit keluh dan peluh.” Ayah Tuah menutup puisinya dengan baris kalimat itu.
Selarik kalimat yang sungguh heroik, kan?
Tapi tunggu dulu. Frasa “... selalu tumbuh meski dihimpit keluh dan peluh” itu mengingatkanku pada sesuatu yang rada saru: bulu ketiak. Bulu ketiak (seorang perempuan di hadapan buku-buku) selalu tumbuh meski dihimpit keluh(nya) dan peluh (di ketiaknya).
Lantas, apa maknanya itu. Sangat jelas, bagi Ayah Tuah kata-kata puitis itu adalah bulu ketiak. Mereka selalu tumbuh meski dihimpit keluh dan peluh, dan dengan demikian menjadi puisi. Jadi, boleh dibilang, ketiak berbulu lebat itu adalah sebuah puisi.
Hahaha. Ups, apa cuma aku yang ngakak di sini?
Ketiak berbulu adalah puisi. Jijay? Itu gagasan Ayah Tuah, lho. Jika kamu keberatan, silahkan unjuk rasa ke lapaknya. Jangan ke rumahnya, kecuali kamu mau menjarah hartanya, memanfaatkan momentum unjuk rasa di depan gerbang gedung DPR.
Humor Terakhir
Izinkan aku menyanyikan setengah bait penutup lagu “Bunga Terakhir” (Bebi Romeo, 2005). Dengan segala maaf kepada Bebi, kata “bunga” kuganti dengan kata “humor”.
“Humor terakhir. Menjadi satu kenangan yang tersimpan. Takkan pernah hilang 'tuk selamanya”
Tertawalah untuk terakhir kali. Agar kamu tahu, tertawa itu priceless. Seluruh K-Rewards takkan bisa membelinya. [eFTe]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI