Katanya ada gelombang radio di udara kita. Bisa menghantar suara-suara yang disiarkan dari Medan ke dalam radio-radio di seluruh Sumatera Utara. Radio menangkap suara-suara itu dan, saat dinyalakan, memperdengarkannya.Â
Amangudaku pintar sekali. Bisa menjelaskan secara sederhana. Walau aku tetap tak paham. Sebab bodohlah aku.
Tapi, sekurangnya, penjelasan itu sukses menghapus bayanganku tentang para liliput dan kepala-kepala manusia di dalam kotak radio.
***
Satu kebodohan hilang, berganti dengan kebodohan lain.
Belum genap usia enam tahun, kakek dan nenek membawaku melawat ke rumah seseorang yang terbilang tulang, paman, di kota Medan.Â
Tulangku itu orang kaya -- ini bukan mau sombong, ya. Â Rumahnya besar, gedung. Mobilnya sedan Plymouth dengan jok yang teramat empuk sampai-sampai aku tenggelam saat mendudukinya. Â
Tapi yang lebih menakjubkan, tulangku itu punya radio salon sebesar lemari bufet. Radio itu diletakkan di ruang tamu, menghadap pintu masuk.Â
Tiap kali tulang menyalakan radionya, aku langsung duduk bersila di lantai, persis di depan radio. Mendengar siaran lagu-lagu dan berita yang suaranya menggelegar. Sambil memelototi radio itu selayaknya sedang menonton televisi.
Duduk takzim. Apa yang dilihat? Ah, aku membayangkan wajah-wajah cantik dan ganteng pemilik suara-suara di radio itu.
Begitulah. Enam tahun selanjutnya, masa SD, aku menikmati siaran radio dengan cara membayangkan wajah dan gestur pemilik suara.Â