Itu usia saat aku pertama kali sadar akan kehadiran radio itu. Takjub, terheran-heran, dan bingung.
"Bagaimana mungkin ada orang yang berbicara dan bernyanyi di dalam kotak radio itu?"
Tidakkah pertanyaan itu membuatku tampak dungu? Ah, jangan dungu. Tapi bodoh. Ini lebih sopan.
Tak ada yang bisa menjawab pertanyaanku. Jangankan anak-anak kakekku nomor dua itu. Bahkan kakekku itupun tak mampu menjawab. Padahal dia kepala desa.
Maka aku mendengar radio itu dalam balutan imajinasi. Saat, misalnya, Titik Sandhora dan Muchsin Alatas melantunkan Bermain Tali, aku bayangkan keduanya sepasang liliput yang bernyanyi di dalam kotak radio.
Begitupun saat radio memperdengarkan lagu India dalam duet. Aku membayangkan dua sejoli sedang bernyanyi sambil berkejaran di padang rumput. Aku tak bisa menangkap liriknya. Tapi aku menikmatinya.
Sedikit lebih seram. Saat warta berita, aku membayangkan ada kepala laki-laki atau perempuan yang berkata-kata di dalam kotak radio.
Maka kusebut kotak radio itu kotak ajaib. Ada para liliput dan kepala-kepala manusia di dalamnya.
Kurang bodoh apa lagi aku? Coba beri jawaban menghibur.
***Â
Beruntung aku punya amanguda, adik bapak, yang kuliah di IKIP Medan di Siantar. Dialah yang bisa menjelaskan cara kerja radio itu padaku.