***
Lanjut ke masa kuliah tahun 1980-an di dua kota. Â Bogor dan, kemudian, Salatiga.
Di Bogor, aku membeli radio kecil di loakan Pasar Anyar sebagai teman belajar di malam hari. Â Dapat murah banget, seribu rupiah.
Radio itu mendedahkan lagu-lagu populer Indonesia ke dalam benakku. Nyaris tiap malam. Â Lagu-lagu lantunan Christine Panjaitan, Iis Sugianto, Â Nia Daniaty, Betharia Sonata, Diana Nasution, Â Endang S. Taurina, Nicky Astria, Jamal Mirdad, Aribowo, Rano Karno, dan ... siapa lagi, ya.
Juga mendedahkan serial sandiwara radio Butir-Butir Pasir di Laut arahan sutradara John Simamora. Disiarkan oleh RRI, sandiwara ini membawa pesan cinta Indonesia.
Tapi yang  paling fenomenal adalah sandiwara radio Saur Sepuh karangan Niki Kosasih.  Disiarkan tiap sore  di berbagai stasiun radio sejak 1984,  sandiwara ini mengisahkan perjalanan pendekar sakti Brama Kumbara, kelak menjadi raja Madangkara di wilayah selatan Jawa. Â
Terdiri dari 20 episode, per episode 60 seri, sandiwara ini benar-benar membetot perhatian pendengar radio se-Indonesia.
Sandiwara radio ini membuatku tampak bodoh. Â Tiap sore mantengin radio untuk mengikuti seri demi seri. Â Tak boleh diganggu siapapun atau apapun.
Sambil mendengar, aku membayangkan sosok setiap tokoh cerita dan lingkungan alam yang menjadi ajang setiap peristiwa. Aku membangun konteks sosial dan alami cerita itu dalam imajinasiku.
Tapi bukan itu yang paling bodoh dari diriku. Saat kuliah di Salatiga akhir 1980-an, aku juga membeli radio kecil sebagai teman belajar. Â Radio pertama hilang dicuri orang dari dalam tasku di sebuah bus malam dalam perjalanan ke Salatiga.
Lagu-lagu populer Indonesia masih kudengar.  Tapi  intensitasnya semakin menurun seiring dengan munculnya kegilaan baru. Mendengarkan siaran wayang kulit dari malam sampai pagi.  Dalang-dalang favoritku waktu itu adalah Ki Narto Sabdo, Ki Manteb Soedharsono, Ki Anom Soroto, Ki Hadi Sugito, dan Ki Timbul Hadiprayitno.