Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menimbang Penghargaan Bahasa untuk Anies Baswedan

5 Agustus 2022   09:28 Diperbarui: 5 Agustus 2022   10:54 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (Dokumentasi Pemprov DKI Jakarta via kompas.com)

Seabrek penghargaan sudah diterima Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Dari lembaga dalam negeri dan luar negeri.

Sebuah penghargaan tentulah diterima atas sebuah prestasi. Apa saja prestasi Anis Baswedan, dasar penghargaan itu, silahkancari tahu sendiri. 

Bukannya saya tidak tahu. Anda juga perlu proaktif. Jangan maunya diloloh saja. Masa bayi (infant period) sudah lewat, bukan?

Tapi ada satu penghargaan yang saya yakin belum diterima Anies Baswedan. Itulah Penghargaan Bahasa. Padahal, itu bidang kepiawaian utama Anies Baswedan. Kepiawaian mengolah kata.

Sekurangnya saya mencatat empat kata/frasa yang diperkenalkan Anies ke dalam khasanah bahasa pembangunan di Jakarta.  Saya urutkan di bawah ini.

|rumah lapis| 

Frasa "rumah lapis" diperkenalkan Anies untuk membedakan konsep pemukiman yang digagasnya dengan "kampung deret" dan "rumah susun". 

"Rumah lapis" itu katanya di bawah 8 lantai. Sedangkan "rumah susun" bisa sampai 16 lantai. 

Secara teknis, istilah "rumah lapis" mungkin memang lebih presisi dibanding "rumah susun" dan "kampung deret". Kata "lapis" itu bersusun secara vertikal ke atas, seperti kue lapis. Sedangkan kata "susun" dan "deret" bisa menunjuk pada tata vertikal maupun horizontal.

Kata "lapis" bahkan menunjuk tata vertikal juga di lapangan sepakbola yang horizontal. Ada istilah "naik" (menyerang) dan "turun" (bertahan). Kata "naik" dan "turun" itu konotasinya kan vertikal, ya.

|penggeseran|

Kata "penggeseran" diperkenalkan Anies sebagai pengganti kata "penggusuran". Dia punya konsep "pembangunan tanpa penggusuran", atau "membangun tanpa menggusur".

Konsep itu dimajukannya untuk mengoreksi kerja gubernur terdahulu yang menggusur pemukiman pinggir kali dalam rangka "normalisasi sungai". (Faktanya sih bukan digusur, tapi warga dipindah ke rumah susun).

Menurut Anies, rumah warga pinggir kali tak perlu digusur. Cukup digeser menjauh dari bibir sungai, sehingga bantaran bersih dari bangunan.

Tidak dijelaskan bagaimana pelaksanaannya secara teknis. Agak susah membayangkan rumah di pinggir sungai bisa digeser menjauh, tanpa risiko rumah didepannya tergeser ke median jalan raya. 

Itu konteksnya pemukiman padat. Tak ada ruang kosong untuk tempat geser.

|naturalisasi sungai| 

Frasa "naturalisasi sungai" diperkenalkan Anies sebagai pengganti istilah "normalisasi sungai". Istilah terakhir ini telah digunakan oleh gubernur-gubernur Jakarta terdahulu.

"Naturalisasi sungai" itu adalah kritik terhadap "normalisasi sungai" yang berimplikasi "penggusuran" rumah warga pinggir kali. Dengan "naturalisasi" rumah tak perlu digusur, cukup digeser saja.

Fokus "normalisasi sungai" adalah optimalisasi fungsi sungai sebagai jalur air ke laut, sehingga risiko banjir di Jakarta bisa diminimalisir.

"Naturalisasi sungai" lebih komprehensif. Merujuk pada kasus Singapura, dia tak hanya mengoptimalkan fungsi sungai sebagai jalur air ke laut. Tapi juga memulihkan ekosistem sungai ke pola naturalnya.

Jadi "normalisasi sungai" itu akan memulihkan fungsi sungai sebagai jalur air ke laut, sekaligus memulihkan biota alami daerah aliran sungai. Sungai, dengan begitu, akan menjadi solusi banjir sekaligus solusi polusi air, tanah, dan udara Jakarta. 

Kurang bagus apa, coba!

|rumah sehat| 

Frasa "rumah sehat" baru saja diperkenalkan Anies sebagai pengganti "rumah sakit". "Rumah sakit" milik pemerintah daerah Jakarta kini berubah nama menjadi "rumah sehat".

Sebenarnya, seperti dikatakan Menkes, itu cuma penjenamaan. Legalnya tetap "rumah sakit".

Gagasan dibalik penjemaan "rumah sehat" itu sejatinya baik. Kata Anies, agar orang tak berorientasi sakit, tapi orientasi sehat.  

Katanya, orang datang ke rumah sakit jangan karena sakit saja. Tapi datang karena sehat dan ingin lebih sehat. Datanglah untuk cek kesehatan, konsultasi gizi, dan konsulltasi kesehatan.

Saya pikir Anies benar. Sebab seperti kata Ivan Illich dalam Medical Nemesis,  kesehatan adalah kapasitas mengatasi realitas kematian, penderitaan, dan kesakitan pada manusia.

Nah, rumah sakit menurut Illich telah merampas kesehatan masyarakat lewat mekanisme iatrogenesis. Persisnya, pertama, merusak kesehatan pasien lewat pengobatan yang tak efektif, tak aman, dan toksikc(iatrogenesis klinis).

Kedua, medikasi kehidupan, menjadikan obat-obatan dan pengobatan sebagai solusi untuk semua masalah kehidupan (iatrogenesis sosial).

Ketiga, merampas kearifan asli masyarakat untuk mengatasi sendiri masalah-masalah kematian, penderitaan, dan kesakitan (iatrogenesis kultural).

Intinya, menurut Illich, rumah sakit itu bagian dari kekuatan yang "membuat warga masyarakat jadi sakit". Nah, karena itu ada benarnya bila Anies menggunakan istilah "rumah sehat", bukan?

Walau saya jadi bingung juga, karena saru dengan konsep "rumah sehat" pedesaan versi Ditjen Cipta Karya PU tempo dulu. "Rumah sehat" versi Cipta Karya itu nesti memenuhi minimal tiga syarat: pencahayaan baik, aliran udara baik, dan pembuangan limbah baik.

Mungkin ada yang bertanya. Apakah Anies benar-benar melaksanakan empat konsep pembangunan tersebut di Jakarta?

Seberapa banyak unit "rumah lapis" dibangun?

Seberapa banyak unit rumah di bantaran sungai  "digeser"?

Seberapa panjang jalur "naturalisasi sungai" yang direalisasi?

Seberapa banyak rumah sakit daerah menjalankan filosofi "rumah sehat"?

Saya pikir, serahkan pertanyaan itu kepada DPRD Jakarta. Anggota dewan yang terhormat itu telah dipilih dan diupah rakyat untuk mencari jawabannya.

Intensi saya di sini hanya untuk menggugah lembaga kebahasaan Indonesia, entah itu Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek atau Pusat Pengembangan Bahasa sesuatu universitas, agar sudi kiranya mempertimbangkan penghargaan bahasa (politik pembangunan) untuk Anies Baswedan.

Alasannya, Anies sudah menciptakan inovasi bahasa pembangunan di Jakarta. Kata/frasa "rumah lapis", "penggeseran", "naturalusasi sungai", dan "rumah sehat" menurut saya sangat cerdas dan powerful. 

Saya jadi teringat kata-kata Anies waktu debat kampanye Pilgub Jakarta 2017: "Hati-hati dengan kata-kata".

Ya, bahasa adalah kekuasaan. Kata-kata adalah unsur kekuasaan.

Itu mengingatkan saya pada seorang tokoh dalam legenda Batak Toba. Namanya Juara Dungdang Siraja Pane. Tokoh ini terkenal sakti tubuh dan kata-katanya. Dia kebal: itullang so ra mabugang, ibodil so ra mate (ditombak tak kunjung luka, dibedil tak kunjung mati). Kata-katanya sakti: dangka do dupang, sae hata manggarar utang (cabang adalah dahan, cukup kata melunasi utang).

Saya pikir, seperti halnya Juara Dungdang, banyak janji dan masalah pembangunan Jakarta yang dilunasi dan diselesaikan Anies hanya dengan kata-kata.

Maka, "Hati-hati dengan kata-kata!" (EFTe) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun