Intinya, menurut Illich, rumah sakit itu bagian dari kekuatan yang "membuat warga masyarakat jadi sakit". Nah, karena itu ada benarnya bila Anies menggunakan istilah "rumah sehat", bukan?
Walau saya jadi bingung juga, karena saru dengan konsep "rumah sehat" pedesaan versi Ditjen Cipta Karya PU tempo dulu. "Rumah sehat" versi Cipta Karya itu nesti memenuhi minimal tiga syarat: pencahayaan baik, aliran udara baik, dan pembuangan limbah baik.
Mungkin ada yang bertanya. Apakah Anies benar-benar melaksanakan empat konsep pembangunan tersebut di Jakarta?
Seberapa banyak unit "rumah lapis" dibangun?
Seberapa banyak unit rumah di bantaran sungai  "digeser"?
Seberapa panjang jalur "naturalisasi sungai" yang direalisasi?
Seberapa banyak rumah sakit daerah menjalankan filosofi "rumah sehat"?
Saya pikir, serahkan pertanyaan itu kepada DPRD Jakarta. Anggota dewan yang terhormat itu telah dipilih dan diupah rakyat untuk mencari jawabannya.
Intensi saya di sini hanya untuk menggugah lembaga kebahasaan Indonesia, entah itu Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek atau Pusat Pengembangan Bahasa sesuatu universitas, agar sudi kiranya mempertimbangkan penghargaan bahasa (politik pembangunan) untuk Anies Baswedan.
Alasannya, Anies sudah menciptakan inovasi bahasa pembangunan di Jakarta. Kata/frasa "rumah lapis", "penggeseran", "naturalusasi sungai", dan "rumah sehat" menurut saya sangat cerdas dan powerful.Â
Saya jadi teringat kata-kata Anies waktu debat kampanye Pilgub Jakarta 2017: "Hati-hati dengan kata-kata".