Berta menoleh ke belakang, ke wajah Poltak yang masih memeluk pinggangnya. Senyum manis mengembang di bibirnya.Â
Poltak terpana. Dia melihat pendar warna-warni indah di sepasang bola mata bening Berta. Warna-warni kesukaannya. Sepasang pelangi ada di sana.
Itu semua terjadi dalam tiga tarikan nafas saja. "Ayo, lari. Kita berteduh di dangau itu saja." Poltak melepas cepat peluknya dari pinggang Berta. Lalu memandunya ke arah dangau miliknya di tengah sawah.
"Naiklah, boru ni rajaku" Poltak bergurau, menyilahkan paribannya lebih dulu naik ke dangau. Rintik hujan semakin rapat.
Tepat saat keduanya sudah duduk di atas dangau, hujan lebat terbawa angin kencang tumpah dari langit. Dangau bambu beratap ilalang itu kadang bergoyang ditiup angin. Tapicmereka aman di situ.
"Ini tak lama. Angin mengantar hujan dari Simanuk-manuk ke Binanga," ramal Poltak.Â
"Macam datu ramal saja kau, Poltak." Berta tertawa geli. Poltak juga.
Tapi Poltak tak sembarang bicara. Itu berdasar pengalaman. Hujan yang disertai tiupan angin kencang, biasanya sangat lebat, tapi tak lama.Â
"Dangau ini markasku saat perang pamuro." Poltak membuka cerita kebiasaannya bersama Binsar dan Bistok saat mamuro, menjaga padi dari serangan hama gelatik "Sebelah barat itu dangau Si Binsar. Di utara sana punya Bistok," lanjutnya.
"Perang pamuro?" Berta memicingkan mata.
"Iya. Aku mengusir gerombolan gelatik dari sawahku ke sawah Binsar. Binsar mengusirnya ke sawah Bistok. Bistok mengusir balik ke sini. Begitu terus."