Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ayat Media Sosial: More Immoral, More Viral, More Money, More Honey

30 Januari 2023   05:34 Diperbarui: 31 Januari 2023   08:52 1261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menggunakan media sosial (Shutterstock/Cristian Dina/via kompas.com)

"Media sosial di era IoT ini adalah agama multisekte yang berebut pengikut di dunia maya." -Felix Tani 

Media sosial (medsos) daring kini telah menjadi "agama" baru di dunia, termasuk Indonesia. Di dalamnya eksis sejumlah "sekte" antara lain Facebook, Twitter, Instagram, Telegram, Tik Tok, dan Youtube.

Di tiap "sekte" terdapat "pemuka-pemuka agama" yaitu para "selemedsos" (selebriti media sosial). Mereka memiliki ratusan ribu, jutaaan, belasan juta, bahkan puluhan juta "umat". "Umat" yang disebut atau menyebut diri pengikut (followers) atau pelanggan (subscribers).

Konten-konten medsos itu semacam kotbah, atau mungkin ajaran, yang didedahkan secara searah terus-menerus kepada "umat", khalayak pengikut. Kotbah yang dinantikan "umat", sekaligus dapat menggerakkan mereka melakukan sesuatu.

Ada ironi di situ. Di satu sisi "agama" baru itu disebut "media sosial". Tapi di lain sisi perilaku para "pemuka" dan "umat"-nya menunjukkan gejala asosial.

Itu terindikasi dari dua hal berikut ini:

Pertama, kegandrungan para "pemuka" untuk membuat dan menyebarkan konten-konten yang terbilang immoral -- dalam arti tak memperdulikan norma sosial.

Kedua, kegandrungan "umat" atau pengikut untuk menikmati konten-konten yang bersifat immoral itu. 

Pola "stimulus-respons" antara "pemuka" dan "umat" semacam itu menimbulkan suatu gejala yang saya sebut "kegilaan sosial".

"Kegilaan" yang dapat dirumuskan sebagai sebuah silogisme: jika (konten) immoral maka (menjadi) viral, jika viral maka (banyak) uang, dan jika (banyak) uang maka (besar) kenikmatan.

Pada akhirnya silogisme itu menjadi semacam Ayat Medsos: more immoral, more viral, more money, more honey. Semakin immoral, semakin viral, semakin kaya uang, semakin nikmat (hidup). 

Itulah salah satu ayat utama medsos yang diimani kaum "pemuka" pemuja views dan adsense, viralitas dan uang, serta kenikmatan hidup -- apapun itu.

Saya akan bahas soal "ayat medsos" ini.

Batasan Tindakan Immoral

Tapi, sebelumnya, kita sepakati dulu batasan "immoral". Sebelum nanti mengenakannya sebagai label pada konten medsos tertentu.

Untuk alasan kredibilitas, saya merujuk pada merriamwebster.com.

Dikatakan di situ, label immoral dikenakan pada orang yang, berdasar norma sosial yang berlaku, dapat membedakan tindakan yang baik/benar dan yang buruk/salah. Tapi dia secara sengaja melakukan tindakan yang buruk/salah.

Contoh, Si Anu tahu dan sadar bahwa mencuri itu buruk/salah, tapi dia sengaja melakukannya.

Bedakan dengan amoral. Label amoral dikenakan pada orang yang mengakui mana yang baik/benar dan yang buruk/salah. Tapi, karena alasan tertentu, dia melakukan tindakan buruk/salah tanpa mempertimbangkan norma sosial.

Contoh, Si Ana tahu melacur itu tindakan buruk/salah, tapi dia tak perduli hal itu, dan tetap melakukannya karena takada pilihan lain baginya untuk bertahan hidup.

Dengan pengertian itu, lantas seperti apakah konten dan "pemuka" medsos yang masuk kategori immoral?

Humiliasi, Desepsi, dan Manipulasi

Secara kategoris, berdasar hasil pengamatan, saya telah membuat tipologi konten immoral di medsos. Humiliasi, desepsi, dan manipulasi.

Humiliasi. Konten humiliasi secara sengaja dimaksudkan untuk menista, merendahkan, atau merusak nama baik satu/sekolompok orang, pranata, institusi, atau organisasi tertentu di ruang publik. 

Ada tiga jenis konten humiliasi yang cenderung viral di Indonesia. 

Pertama, penistaan presiden, semisal konten-konten twitter, instagram, TikTok, dan YouTube yang menista Presiden Jokowi. Mengatai Presiden Jokowi dungu, planga-plongo, cebong, dan lain-lain.

Kedua, penistaan agama, semisal konten-konten yang merendahkan ajaran dan simbol-simbol agama tertentu.

Ketiga, penistaan antar "selemedsos" (selebriti media sosial), atau "pemuka agama medsos". Lazimnya berupa konten salung-singkap aib, lalu saling-hujat setelah stok aib habis.

Semua penista itu sadar dan tahu -- apalagi kalau dia mantan menteri -- bahwa konten penistaan itu buruk/salah, melanggar norma adat dan hukum positif. Tahu menista presiden itu buruk, menista agama itu salah, dan membuka aib sesama itu tidak layak.

Tapi mereka tetap membuat dan membagikan konten immoral itu kepada khalayak. Motifnya viralitas, lalu uang, dan kemudian (konsumsi) kenikmatan duniawi.

Desepsi. Ini konten immoral yang bersifat menipu atau membohongi. 

Tujuannya mempengaruhi khalayak agar menerima sesuatu yang buruk/salah (invalid) sebagai sesuatu yang baik/benar (valid). Demi mencapai kepentingan tertentu.

Termasuk desepsi adalah hoaks. Informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi yang sebenarnya. Kalau perlu, memutar-balik fakta. Atau bahkan fitnah.

Konten hoaks yang pernah viral di Indonesia antara lain tuduhan bahwa Jokowi itu PKI dan ijazah Jokowi itu palsu. Juga konten tentang Ratna Sarumpaet dianiaya orang-orang tak dikenal (tahun 2018).

Lalu prank. Tak semua, tentu saja.

Salah satu yang sempat viral adalah konten prank KDRT yang dibuat pasutri YouTuber terkenal. Hal itu kemudian menjadi perkara di kepolisian. 

Konten prank KDRT itu immoral karena tiga hal. Membohongi polisi, membohongi khalayak, dan menunjukkan rendahnya empati sosial terhadap korban KDRT.

Juga konten ceramah keagamaan yang menafsir ayat Kitab Suci agama lain secara menyimpang dari, atau bahkan bertentangan dengan, tafsir resmi dari otoritas pemilik Kitab Suci.

Konten desepsi semacam itu banyak. Tujuannya untuk mengesankan ajaran agama sendiri baik/benar, karena ajaran agama lain buruk/salah.

Manipulasi. Konten manipulasi menyajikan tindakan pengendalian dan eksploitasi terhadap orang lain demi mendapatkan keuntungan.

Konten semacam itu menjadi immoral karena menjadikan orang lain obyek eksploitasi. Dan "orang lain" itu tidak sadar dirinya sedang dieksploitasi.

Ada dua jenis cara ekaploitasi yang ditempuh oleh pembuat konten, "pemuka agama medsos". Cara kasar dan cara halus.

Pada cara kasar, gejala kontrol dan eksploitasi terhadap obyek langsung terbaca atau terlihat. 

Contohnya kontek TikTok "nenek mandi lumpur" yang baru saja viral di medsos. Jelas di situ seorang perempuan tua telah dieksploitasi demi menggugah belas-kasih khalayak. Berharap gift akan mengalir. Dan, benar, itulah yang terjadi.

Sebaliknya, pada cara halus eksploitasi terlihat sebagai kewajaran. Bahkan terasakan sebagai sesuatu yang menghibur. 

Konten pamer perilaku balita oleh sejumlah selemedsos adalah contoh terbaik manipulasi halus. Di situ anak telah dieksploitasi orangtuanya. Tanpa persetujuan dan di luar kesadaran anak itu sendiri. 

Para "pemuka agama medsos" sangat paham bahwa perilaku balita adalah konten yang berpotensi viral. Karena kelucuannya yang bikin gemas. Juga karena tingginya hasrat kepo pada khalayak.

Lingkaran Immoralitas di Medsos

Viralitas konten-konten humiliasi, desepsi, dan manipulasi yang immoral itu bersandar pada keterbelahan khalayak. Satunya kelompok "pecinta" (lovers, pengikut), lainnya "pembenci" (haters). 

Saling hujat antara pecinta dan pembenci, yang diikuti aksi sharing konten, telah mengamplifikasi viralitas konten-konten tersebut. Pada gilirannya, viralitas itu akan menarik semakin banyak uang dari adsense, endorse, dan gift.

Jadi bagi "pemuka" medsos pengunggah konten humiliasi, desepsi, dan manipulasi nilai lovers dan haters sejatinya sama saja: Uang! 

"Uang" di sini tak mesti berupa uang langsung. Bisa juga berupa perhatian dan simpati yang berujung pada vote, semisal pada kontestasi seni-budaya dan politik. Jika vote itu mengantar pada kemenangan, maka uang tinggal perkara "buka kran".

Kenikmatan (honey) yang dapat dibeli oleh para "pemuka" medsos dengan uangnya membuat mereka ketagihan produksi konten immoral.

Hal itu kemudian mengukuhkan sebuah lingkaran immoralitas di ranah medsos. Semacam ini: konten immoral -> viral -> uang -> kenikmatan -> (kembali produksi) konten immoral. 

Itu sebabnya konten-konten immoral tak pernah surut di medsos. Sebaliknya, justru semakin melimpah.

Bisa dikatakan, konten-konten humiliasi, desepsi, dan manipulasi itu adalah kampanye atau bahkan sosialisasi immoralitas yang sangat efektif.

Suatu saat nanti, jika pemerintah dan khalayak tidak menolak tegas konten-konten humiliasi, desepsi, dan manipulasi itu, maka immoralitas akan diterima sebagai sebuah kewajaran atau bahkan "moralitas baru" dalam masyarakat kita.

Agar tak sampai begitu, pemerintah perlu didorong dan didukung untuk membuat regulasi yang tegas mengharamkan konten-konten humiliasi, desepsi, dan manipulasi di medsos. 

Tak hanya membuat regulasi, tapi juga konsisten menegakkannya.

Lingkaran imoralitas, yaitu ayat medsos "more immoral, more viral, more money, more honey, (back to) more immoral", telah menjadi semacam satanic verse di era I(di)oT ini.

Sampai kapan ayat itu dibiarkan meraja. Sampai immoralitas menjadi nilai budaya baru?

(eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun