Menariknya, anak-anak memberi nilai tertinggi untuk bungkus rokok kretek. Â Ada dua kelas. Â Kelas bawah Joharmanik, Panama, Jarum Coklat, Bentoel, dan Gudang Garam. Nilainya Rp 15. Â Kelas atas, Galan dan Dji Sam Soe, nilainya Rp 20.
Nilai kelipatan 5 itu sengaja dipilih karena operasi angka 5 paling gampang dilakukan. Anak paling bodoh pun akan terlihat pintar saat diminta mengerjakan operasi tambah-kurang dan kali-bagi angka 5.
Permainan segitiga ini secara tak langsung telah mengajarkan anak-anak konsep-konsep ketersediaan, harga, dan hubungan keduanya. Semakin melimpah ketersediaan suatu barang, semakin murah harganya. Sebaliknya, semakin langka suatu barang, semakin mahal harganya.
Anak-anak mengalami soal ketersediaan itu dalam proses pemulungan bungkus rokok. Entah  di pinggir jalan, halaman warung, dan tempat pesta. Peluang mendapatkan bungkus rokok Union dan Commodore misalnya, jauh lebih besar ketimbang mendapatkan bungkus rokok Galan dan Dji Sam Soe.Â
Akibatnya, persaingan -- ini konsep ekonomi juga -- untuk memperoleh bungkus rokok Galan dan Dji Sam Soe sangat sengit.  Jika sedang jalan bersama, lalu di kejauhan tampak kertas kuning cerah atau kuning kehijauan, maka spontan akan terjadi lomba lari untuk mendapatkannya. Sebab sangat mungkin itu bungkus rokok Galan atau Dji Sam Soe.
***
Anak-anak Hutabolon belajar dari pengalaman sehari-hari. Mereka menyaksikan mayoritas lelaki Hutabolon merokok Union dan Commodore Filter (Comfil). Hanya sedikit yang merokok Galan ataupun Dji Sam Soe.Â
Anak-anak lantas belajar, merek rokok  adalah simbol status sosial.  Perokok Union dan Comfil adalah mayoritas warga biasa.  Warga lapisan bawah dengan penghasilan pas-pasan. Sebaliknya perokok Galan dan Dji Sam Soe adalah minoritas warga terkemuka. Warga lapisan atas dengan penghasilan memadai.
Hal itu masuk akal. Orang miskin tak sanggup membeli rokok Galan dan Dji Sam Soe. Terlalu mahal untuk dompetnya. Hanya orang berada yang mampu membelinya. Karena itu, dua merek rokok itu dianggap penanda atau simbol orang mampu.
Jamak terdengar obrolan seperti ini. Â Tanya, "Ai aha do sigaretmu" (Apa rokokmu?) Â Dijawab, "Dji Sam Soe do, bah" (Dji Sam Soe lah.) Respon balik, "Bah, puang. Â Sigaretni na beteng ido ate."Â (Wow, kawan. Rokok orang hebat rupanya.) Â
Anak-anak mengamati cara kerja merek rokok sebagai simbol status pada para perjaka Hutabolon. Perjaka perokok Dji Sam Soe lebih dilirik para gadis ketimbang perokok Union. Dalam pikiran gadis-gadis itu, perokok Dji Sam Soe pastilah pemuda mapan, pekerjaan bagus, keuangan mantap.