Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nilai Bungkus Rokok dalam Permainan Anak SD di Tanah Batak Tahun 1960-an

19 Oktober 2021   06:25 Diperbarui: 19 Oktober 2021   11:19 10502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diambil dari akun twitter @HoldenKlasik

Lewat media bungkus rokok, anak-anak sekolah dasar (SD) di Hutabolon (pseudonim), Tanah Batak tahun 1960-an mengenal nilai ekonomi barang dan status sosial. Mungkin terdengar absurd. Tapi itulah yang terjadi. Anak-anak SD menemukan sendiri caranya untuk belajar ekonomi dan sosiologi dalam usia dini.

Wahana belajar itu adalah permainan kreasi anak-anak sendiri. Namanya  marsegitiga. Ini adu ketrampilan melempar taruhan berupa bungkus rokok yang dilipat berbentuk segitiga.

Tumpukan bungkus rokok itu ditempatkan dalam satu lingkaran di tanah. Lalu dilempar dari jarak 10 meter menggunakan gacok, batu lempengan seukuran rengginang goreng.

Cara mainnya begini.  Pemain bisa 3 atau 4 orang.  Mereka sepakat dulu nilai taruhan. Misalnya setara Rp 20. Maka setiap pemain meletakkan bungkus-bungkus rokok senilai total Rp 20 di dalam lingkaran. Urutan pelemparan pertama ditetapkan secara suit. Urutan pelemparan berikutnya ditetapkan menurut jarak gacok terhadap titik tengah lingkaran.

Pemenang marsegitiga itu adalah pemain yang berhasil mengeluarkan bungkus rokok dengan total nilai tertinggi dari dalam lingkaran. Bungkus-bungkus rokok itu menjadi miliknya. Pemain yang kalah, ya, sebaliknya.

Permainan itu mengandalkan keahlian membidik sasaran dan  melemparkan gacok. Lemparan terbaik adalah menyusur tanah dan menyapu semua bungkus rokok ke luar lingkaran. Menang telak.  Lemparan terburuk adalah gacok yang terperangkap dalam lingkaran. Kena denda Rp 5.

***

Pemberian nilai pada bungkus rokok oleh anak-anak Hutabolon merujuk fakta empiris. Semakin murah harga rokok dan semakin banyak ketersediaannya, semakin kecil nilainya. Sebaliknya, semakin mahal dan langka rokok, semakin tinggi nilainya.

Demikianlah, tanpa maksud mengangkat atau menjatuhkan satu merek, bungkus rokok putih Union dan United dinilai paling rendah yaitu Rp 5. Itu adalah rokok sejuta umat.

Di atas Union/United adalah bungkus rokok putih Kansas, Commodore,  Mascot,  Ardath dan 555. Nilainya Rp 10.

Menariknya, anak-anak memberi nilai tertinggi untuk bungkus rokok kretek.   Ada dua kelas.  Kelas bawah Joharmanik, Panama, Jarum Coklat, Bentoel, dan Gudang Garam. Nilainya Rp 15.  Kelas atas, Galan dan Dji Sam Soe, nilainya Rp 20.

Nilai kelipatan 5 itu sengaja dipilih karena operasi angka 5 paling gampang dilakukan. Anak paling bodoh pun akan terlihat pintar saat diminta mengerjakan operasi tambah-kurang dan kali-bagi angka 5.

Permainan segitiga ini secara tak langsung telah mengajarkan anak-anak konsep-konsep ketersediaan, harga, dan hubungan keduanya. Semakin melimpah ketersediaan suatu barang, semakin murah harganya. Sebaliknya, semakin langka suatu barang, semakin mahal harganya.

Anak-anak mengalami soal ketersediaan itu dalam proses pemulungan bungkus rokok. Entah  di pinggir jalan, halaman warung, dan tempat pesta. Peluang mendapatkan bungkus rokok Union dan Commodore misalnya, jauh lebih besar ketimbang mendapatkan bungkus rokok Galan dan Dji Sam Soe. 

Akibatnya, persaingan -- ini konsep ekonomi juga -- untuk memperoleh bungkus rokok Galan dan Dji Sam Soe sangat sengit.  Jika sedang jalan bersama, lalu di kejauhan tampak kertas kuning cerah atau kuning kehijauan, maka spontan akan terjadi lomba lari untuk mendapatkannya. Sebab sangat mungkin itu bungkus rokok Galan atau Dji Sam Soe.

***

Anak-anak Hutabolon belajar dari pengalaman sehari-hari. Mereka menyaksikan mayoritas lelaki Hutabolon merokok Union dan Commodore Filter (Comfil). Hanya sedikit yang merokok Galan ataupun Dji Sam Soe. 

Anak-anak lantas belajar, merek rokok  adalah simbol status sosial.  Perokok Union dan Comfil adalah mayoritas warga biasa.  Warga lapisan bawah dengan penghasilan pas-pasan. Sebaliknya perokok Galan dan Dji Sam Soe adalah minoritas warga terkemuka. Warga lapisan atas dengan penghasilan memadai.

Hal itu masuk akal. Orang miskin tak sanggup membeli rokok Galan dan Dji Sam Soe. Terlalu mahal untuk dompetnya. Hanya orang berada yang mampu membelinya. Karena itu, dua merek rokok itu dianggap penanda atau simbol orang mampu.

Jamak terdengar obrolan seperti ini.  Tanya, "Ai aha do sigaretmu" (Apa rokokmu?)  Dijawab, "Dji Sam Soe do, bah" (Dji Sam Soe lah.) Respon balik, "Bah, puang.  Sigaretni na beteng ido ate." (Wow, kawan. Rokok orang hebat rupanya.)  

Anak-anak mengamati cara kerja merek rokok sebagai simbol status pada para perjaka Hutabolon. Perjaka perokok Dji Sam Soe lebih dilirik para gadis ketimbang perokok Union. Dalam pikiran gadis-gadis itu, perokok Dji Sam Soe pastilah pemuda mapan, pekerjaan bagus, keuangan mantap.

Karena itu jamaklah perjaka memaksakan diri membeli dua tiga batang Dji Sam Soe, saat mendekati gadis impian. Sebab merek rokok itu dapat mengangkat gengsinya di hadapan si gadis dan orangtuanya. 

***

Apakah anak-anak Hutabolon sedang belajar tentang rokok, untuk kemudian merokok, lewat permainan marsegitiga?

Sama sekali tidak.  Mereka hanya sedang menangkap gejala ekonomi (penawaran/ketersediaan, permintaan, persaingan, harga) dan gejala sosiologis (status sosial, simbol status, gengsi) lewat bungkus rokok, lalu meringkasnya ke dalam bentuk permainan marsegitiga. 

Anak-anak adalah representasi Homo ludens sejati, paling murni.  Mereka melihat dunia sekitar dalam bingkai permainan. 

Begitulah.  Anak-anak Hutabolon menerjemahkan hukum ekonomi dan sistem status sosial ke dalam aturan permainan marsegitiga. Permainan itu sendiri adalah praktek sosial-ekonomi. Ada aspek ekonomi: penawaran, harga, negosiasi, akumulasi, dan kehilangan (lost).  Ada struktur sosial: pelapisan sosial berdasar nilai kepemilikan barang. Ada norma sosial: konsensus berupa aturan main.    

Suatu saat kelak, saat sudah dewasa, mungkin saja anak-anak itu berharap merokok. Preferensinya rokok Galan atau Dji Sam Soe. Itu berarti, lewat permainan marsegitiga, anak-anak  telah belajar mengapresiasi status sosial-ekonomi tinggi dalam masyarakat.

Apa yang dialami anak-anak Hutabolon tahun 1960-an itu, dialami juga oleh anak-anak jaman 4.0 kini. Beda wahananya saja. Dulu bungkus rokok, sekarang gawai. Anak-anak masa kini sudah terbiasa menilai status sosial seseorang dari merek gadged. Apakah buatan China (rendah), Korsel (sedang),  atau Amerika (tinggi)?

Tapi ada perbedaan substantif di sini. Bagi anak-anak Hutabolon dulu, permainan marsegitiga adalah pemanggungan hukum ekonomi dan sistem status sosial. Bagi anak-anak jaman 4.0 kini, permainan (games) via gadged adalah semata permainan. Bukan peringkasan pemaknaan terhadap pengalaman sosial-ekonomi di sekitarnya.

Barangkali ada baiknya para pengampu pendidikan masa kini  belajar pada anak-anak Hutabolon tahun 1960-an. Belajar tentang cara mengajarkan konsep-konsep rumit sains natural dan sosial dengan cara meringkasnya ke dalam bentuk permainan. Jangan ingat, anak-anak adalah representasi Homo ludens. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun