Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #061] Penjaga Garis Lapangan Bola

23 Juni 2021   13:31 Diperbarui: 24 Juni 2021   20:54 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Hari pertandingan sepakbola antara SD Hutabolon dan SD Sibigo. Suatu pertandingan persahabatan antar sekolah. Sekolah Dasar Sibigo berada empat kilometer di sebelah barat Hutabolon.

Semenjak diumumkan Guru Henok, Kepala Sekolah, tujuh hari lalu, Guru Paruhum langsung sibuk membangun Tim Sepakbola SD Hutabolon. Mulai dari seleksi pemain sampai latihan tiap hari. 

"Poltak! Kau jadi pemain cadangan, ya." Guru Marihot menetapkan status Poltak saat seleksi di lapangan.

"Jangan, Gurunami. Aku jadi lesmen saja," tolak Poltak. Dia minta jadi lesmen, linesman, penjaga garis, sebuah posisi penting juga.

Poltak sadar dirinya tak bisa main sepakbola. Memasukkannya ke lapangan permainan berarti menciptakan titik lemah dalam tim.  

"Kenapa pula kau, Poltak?"

"Aku tak bisa main sepakbola, Gurunami. Jempol kaki kananku langsung bengkak kalau menyepak bola." Poltak menunjuk jempol kakinya. "Itu, Gurunami. Jempolku lebih besar dari jari lainnya."

"Bah! Ya, sudahlah kalau begitu. Kau jadi lesmen saja." Guru Paruhum mengubah keputusannya, setelah melirik jempol kaki Poltak. "Benar juga," pikirnya, "jempol kaki Poltak lebih besar dibanding jari lainnya." Tak sempat terpikir olehnya,  kalau lebih kecil dibanding jari lainnya, itu berarti jari kelingking.

Kedua tim sudah siap di lapangan sepakbola SD Hutabolon.  Tim SD Hutabolon diperkuat murid-murid laki kelas empat, lima, dan enam. Dari kelas empat, pemain terpilih adalah Binsar, Alogo, dan Polmer.  Binsar dan Alogo pada posisi gelandang, Polmer pada posisi bek. Posisi kapten dipegang Luhut, murid kelas enam. Pemain lainnya adalah Jamaris, Jannes, Ramot, Robinson, Patar, Sahat, dan kiper Jaolo.

Kedua tim menerapkan strategi 4-3-3.  Empat pemain bek, tiga pemain tengah, dan tiga penyerang. Satu lagi, kiper.

"Priiit." Wasit, Bang Jonggi, kapten Tim Sepakbola Hutabolon, meniup peluit tanda permainan dimulai.  Sesuai hasil suit, bola pertama mengalir dari kaki pemain SD Sibisa.  

"Ribakkon, Polmer!"  "Raprap, Jannes!"  "Goreng, Luhut." "Oper, Lamhot!"  "Libas, Udut!"  Penonton, murid-murid dari kedua sekolah, berteriak-teriak menyemangati tim dan pemain masing-masing.  

Di sisi timur lapangan, lesmen Poltak berlari hilir-mudik mengikuti pergerakan bola.  Siap mengangkat bendera jika bola keluar melewati garis lapangan.  

"Ribakkon, Poltak!" Jonder berteriak menyemangati Poltak!

"Salaoarmu ribak!" balas Poltak menyumpahi semoga celana Jonder robek.

"Gooool ...!"  Murid-murid SD Sibisa bersorak sambil meloncat-loncat kegirangan.  Penyerang mereka berhasil melesakkan bola ke gawang SD Hutabolon yang dijaga kiper Jaolo, murid kelas enam. Satu kosong untuk Tim SD Sibigo.  

Guru Paruhum tepuk jidat.  Murid-murid SD Hutabolon terdiam kecewa.  Poltak lemas di pinggir lapangan. Sejenak dia lupa tugasnya menjaga garis yang tak hendak lari. 

"Oi, Luhut!  Jangan kelamaan goreng bola kau! Oper! Si Jannes bebas itu!"  Guru Paruhum meneriakkan arahan dari pinggir lapangan. Luhut terlalu lama menggocek bola sendirian. Seolah dia sendiri yang menghadapi kesebelasan Tim SD Sibigo. 

Benar saja.  Bek lawan berhasil merebut bola dari kaki Luhut.  Dia langsung mengopernya ke penyerang sayap kiri yang berlari cepat menyusur tepi timur lapangan.  Ingin rasanya Poltak menebas kaki pemain itu dari tepi lapangan. 

Dari pojok lapangan, penyerang SD Sibigo itu mengirim umpan tarik ke tengah kotak pinalti. Bola jatuh tepat di kaki penyerang tengah yang seketika mengayunkan tendangan voli keras ke arah gawang Jaolo.  

"Gooool!" Murid-murid SD Sibigo bersorak-sorai.  Dua kosong untuk SD Sibigo. Murid-murid SD Hutabolon tambah layu.  Poltak tambah lemas.  Guru Paruhum pukul jidat kesal, bukan tepok lagi.

Kesebelasan SD Hutabolon tidak patah semangat. "Semangat! Semangat!" teriak Luhut menyemangati tim. "Mereka makan nasi, kita juga!" teriak Jannes. Kembali, serangan dibangun kembali ke gawang lawan.

"Jannes! Tembak! Go-alaaaah ... hah!" Guru Paruhum kecewa berat.  Tembakan Jannes melenceng tipis di sebelah tiang kiri gawang. "Yaaah ...!" Murid-murid SD Hutabolon mengeluh kecewa.

Luhut dan kawan-kawan sebenarnya bukan tanpa peluang sama sekali. Selain Luhut, Jannes, Jamaris, dan Polmer juga melepas tembakan ke arah gawang lawan.  Tapi bola meleset tipis entah itu  di atas mistar atau di samping tiang gawang. 

"Oi, jangan main ikkan tore kalian!" Guru Paruhum mengingatkan timnya yang bergerak seperti gerombolan ikkan tore, ikan teri. Ke situ bola bergulir, ke situ pula semua pemain menumpuk.  Itu bukan strategi 4-4-3 lagi, tapi strategi 10, sebuah strategi tanpa strategi.

"Ada yang takberes di  sini," pikir Poltak di tepi lapangan. "Kenapa tiap tembakan teman-temanku selalu melenceng. Waktu latihan tidak begitu." Menurut Poltak, secara teori harusnya tendangan teman-temannya membuahkan gol.

"Jangan-jangan ...." Pikiran Poltak terputus karena dia melihat Binsar sedang menguasai bola di sektor kanan pertahanan lawan.

"Polmer! Lari!  Cepat! Lari ke kotak pinalti lawan! Awas opsait!" Poltak mendikte Polmer. Juga mengingatkan jangan masuk perangkap off-side.  Sejenak Poltak lupa perannya sebagai lesmen.

"Binsar! Oper bola ke Polmer di kotak pinalti!" Poltak berteriak sekeras-kerasnya. 

Binsar mengirim umpan terobosan ke arah kotak pinalti lawan. Polmer berlari cepat mengejar bola, menguasainya, dan mengontrolnya.  

Polmer berdiri bebas,  berhasil lepas sejenak dari kawalan lawan,  tinggal berhadapan dengan kiper lawan.  

"Polmer! Tembak!" Poltak berteriak keras dari pinggir lapangan.  

Polmer, Samson dari Hutabolon itu, melepas tendangan kanon yang menjadi spesialisasinya. Hanya Polmer yang bisa melakukan teknik tendangan seperti itu dalam tim.  

Bola meluncur sangat deras seperti peluru meriam.  Tak pelak lagi, arahnya tepat menuju gawang Tim SD Sibigo. Poltak, Guru Paruhum, guru-guru lain, dan murid-murid SD Hutabulon tegang menahan nafas. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun