"Ribakkon, Polmer!" Â "Raprap, Jannes!" Â "Goreng, Luhut." "Oper, Lamhot!" Â "Libas, Udut!" Â Penonton, murid-murid dari kedua sekolah, berteriak-teriak menyemangati tim dan pemain masing-masing. Â
Di sisi timur lapangan, lesmen Poltak berlari hilir-mudik mengikuti pergerakan bola. Â Siap mengangkat bendera jika bola keluar melewati garis lapangan. Â
"Ribakkon, Poltak!" Jonder berteriak menyemangati Poltak!
"Salaoarmu ribak!" balas Poltak menyumpahi semoga celana Jonder robek.
"Gooool ...!" Â Murid-murid SD Sibisa bersorak sambil meloncat-loncat kegirangan. Â Penyerang mereka berhasil melesakkan bola ke gawang SD Hutabolon yang dijaga kiper Jaolo, murid kelas enam. Satu kosong untuk Tim SD Sibigo. Â
Guru Paruhum tepuk jidat. Â Murid-murid SD Hutabolon terdiam kecewa. Â Poltak lemas di pinggir lapangan. Sejenak dia lupa tugasnya menjaga garis yang tak hendak lari.Â
"Oi, Luhut! Â Jangan kelamaan goreng bola kau! Oper! Si Jannes bebas itu!" Â Guru Paruhum meneriakkan arahan dari pinggir lapangan. Luhut terlalu lama menggocek bola sendirian. Seolah dia sendiri yang menghadapi kesebelasan Tim SD Sibigo.Â
Benar saja. Â Bek lawan berhasil merebut bola dari kaki Luhut. Â Dia langsung mengopernya ke penyerang sayap kiri yang berlari cepat menyusur tepi timur lapangan. Â Ingin rasanya Poltak menebas kaki pemain itu dari tepi lapangan.Â
Dari pojok lapangan, penyerang SD Sibigo itu mengirim umpan tarik ke tengah kotak pinalti. Bola jatuh tepat di kaki penyerang tengah yang seketika mengayunkan tendangan voli keras ke arah gawang Jaolo. Â
"Gooool!" Murid-murid SD Sibigo bersorak-sorai. Â Dua kosong untuk SD Sibigo. Murid-murid SD Hutabolon tambah layu. Â Poltak tambah lemas. Â Guru Paruhum pukul jidat kesal, bukan tepok lagi.
Kesebelasan SD Hutabolon tidak patah semangat. "Semangat! Semangat!" teriak Luhut menyemangati tim. "Mereka makan nasi, kita juga!" teriak Jannes. Kembali, serangan dibangun kembali ke gawang lawan.