Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #058] Menyambut Ratu Belanda Si Penjajah

17 Juni 2021   16:20 Diperbarui: 17 Juni 2021   17:59 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase olwh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

Suatu hari di tahun 1970.  Pagi-pagi benar murid-murid SD Hutabolon, kelas tiga sampai kelas enam, bersiap-siap berangkat ke Girsang, Parapat.  Mereka,  juga murid-murid lain dari semua sekolah di  Kecamatan Parapat, dikerahkan untuk menyambut kedatangan Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard dari Belanda.

Sehari sebelumnya, saat pelajaran Sejarah, terjadi perdebatan kecil antara Guru Marihot dan Poltak di kelas. 

"Belanda menjajah Indonesia selama tiga ratus lima puluh tahun.  Tapi Tanah Batak dijajah hanya selama enam puluh tujuh tahun." Guru Marihot mulai mengisahkan sejarah penjajahan Belanda di Tanah Batak. 

Belanda memasuki Tanah Batak pada tanggal 6 Februari 1878.  Terhitung dari tahun itu sampai 1945, seluruhnya 67 tahun.

"Perlawanan rakyat Batak kepada Belanda dipimpin Raja Sisingamangaraja Keduabelas. Beliau Raja Batak yang bersinggasana di Bakkara. Sisingamangaraja dan rakyat Batak melawan penjajahan Belanda selama dua puluh sembilan tahun.  Sejak tahun seribu delapan ratus tujuh puluh delapan sampai seribu sembilan ratus tujuh."

Murid-murid menyimak penuturan Guru Marihot penuh minat.  Polmer melongo, tapi tanpa ingus.

"Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.  Pada tanggal tujuh belas Juni tahun seribu sembilan ratus tujuh, Raja Sisingamangaraja gugur terkena peluru serdadu Belanda di daerah Dairi. Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengangkat Sisingamangaraja Keduabelas sebagai Pahlawan Nasional. " Guru Marihot mengakhiri kisahnya.

"Nah, anak-anak. Besok Ratu Juliana dan  Pangeran Bernhard, dari Belanda akan mengunjungi Danau Toba.  Kita diperintahkan ikut menyambut kedatangan mereka," lanjutnya sejurus kemudian.

"Gurunami." Poltak mengacungkan telunjuk.

"Ya, Poltak."

"Siapa mereka, Gurunami."

"Ratu Juliana itu Ratu Negara Belanda.  Pangeran Bernhard itu suaminya."

"Apakah Belanda mau menjajah kita lagi, Gurunami?

"Tidak, Poltak!"  Suara Guru Marihot mulai meninggi.

"Mengapa kita harus menyambut kedatangan ratu Belanda penjajah itu, Gurunami.?"

"Bah!  Pandai pula kau bertanya.  Sekarang kita tak dijajah lagi.  Kita sudah merdeka.  Indonesia dan Belanda sudah berdamai. Sekarang sudah bersahabat.  Paham kau, Poltak!"

"Mana pahamlah aku," tukas Poltak dalam hati.  Meski tidak puas pada penjelasan Guru Marihot, Poltak memilih untuk mengangguk lalu diam.  Sebab nada suara Guru Marihot sudah semakin meninggi.

Akan halnya Guru Marihot, dia sangat heran mengapa ada anak yang gemar bertanya kritis seperti Poltak.  "Barangkali anak ini sarapan nasi dan telur rebus tiap pagi.  Bukan sarapan singkong rebus dan ikan asin bakar," pikirnya.  

Murid-murid SD Hutabolon berangkat ke Girsang, Parapat naik motor prah.  Motor prah itu, milik seorang pengusaha kilang beras di Girsang, disewa kepala sekolah untuk sekali jalan.  Sebanyak enampuluh lima orang anak berdiri berjejal di dalam baknya. 

Setelah pintu bak di bagian belakang motor prah dikancingkan, dari luar hanya terlihat bendera-bendera kertas merah-putih dan merah-putih-biru berkibaran. Itu bendera-bendera penyambutan Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard.

Murid-murid SD Hutabolon diangkut seperti sekawanan kambing ke pasar hewan.  Sementara dua orang guru pengawal, Guru Marihot dan Guru Manaor dari kelas lima,  duduk tenang di kabin supir, murid-murid terpontal-pontal di dalam bak mengikuti arak tikungan yang tak kunjung habis sepanjang jalan ke Girsang. 

Tapi kondisi itu ternyata menjadi sumber sorak-sorai dan gelak-tawa bagi mereka.  sarena itu Sulit untuk tidak mengatakan perjalanan itu sebagai perjalanan sarat suka-ria.

Di Girsang, murid-murid SD Hutabolon bergabung dengan murid-murid dari sekolah lain sekecamatan Parapat.  Mereka disuruh berdiri di bawah naungan hutan pinus mengelilingi sebentang lapangan rumput halus.  Itu bagian dari suatu lapangan golf.  Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard  akan datang naik helikopter lalu mendarat di situ.

Menunggu itu sangat membosankan.  Tapi murid-murid sekolah se-Parapat itu lebih suka disuruh menunggu ketimbang belajar di kelas. Karena itu rona wajah mereka tetap sumringah menunggu kedatangan ratu dan pangeran dari Belanda itu.  

Wajah Poltak, yang berdiri bersisian dengan Berta, juga tampak sumringah.  Dia sendiri tak paham mengapa harus sumringah.  Sebab dia tetap tak paham mengapa seorang ratu penjajah harus disambut dengan gegap-gempita.

"Itu helikopternya!"  Polmer berteriak sambil menunjuk ke langit utara.  "Itu mereka!"  "Sudah datang!"  "Itu apa?"  "Helikopter, dodong!"  "Oi, jangan injak kakiku!" "Aduh!"  Berbagai teriakan dan ujaran tumpang-tindih dan susul-menyusul.  

"Anak-anak! Semua siap-siap!  Angkat kibarkan bendera Indonesia dan Belanda di tangan!"  Guru Marihot dan Guru Manaor mengarahkan murid-muridnya, saat dua helikopter tadi sudah mendekat dan siap mendarat.  Saat itu tepat pukul 12.00 siang.

Angin kencang dari putaran baling-baling helikopter menerpa tubuh anak-anak di sekeliling lapangan pendaratan.  Rambut panjang anak-anak perempuan berkibaran.  Bendera-bendera kecil berkepak-kepak. 

"Itu Pangeran Bernhard!"  Guru Manaor menunjuk ke arah seorang lelaki bule bertubuh tinggi besar yang turun dari salah satu helikopter yang telah mendarat.  Lelaki itu berdiri sejenak dan melambaikan tangan ke arah barisan anak-anak, sebelum kemudian dipandu beberapa orang menuju sebuah mobil sedan.

"Pangeran? Mahkota dan mantolnya mana?" Poltak membatin.

"Ratu Juliana mana, Gurunami!"  Poltak berteriak ke arah Guru Marihot.  Poltak tak melihat adanya sosok ratu bule turun dari helikopter. Dalam benaknya, seorang ratu pasti mengenakan mahkota dan mantol beludru halus.  Dia ingin menanyakan soal itu kepada Guru Marihot.  Tapi dia sedang malas mendengar nada suara tinggi.

"Kelihatannya Ratu Juliana ada di helikopter yang satu lagi.  Kita tidak bisa lihat dari sini."  Guru Marihot memberi jawaban kira-kira.  Helikopter yang dinaiki Pangeran Bernhard memang menutup pandangan ke helikopter yang satu lagi.

Tidak sampai seperempat jam, lapangan pendaratan helikopter sudah sepi.  Hanya ada sejumlah polisi dan tentara yang berjaga.  Sosok bule yang disebut Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard sudah pergi naik mobil sedan ke arah kota Parapat.

"Anak-anak, penyambutan sudah selesai.  Kita pulang sekarang.  Jalan kaki."  Guru Manaor mengarahkan murid-muridnya untuk pulang kembali.  "Langsung pulang ke rumah masing-masing, ya."

"Jadi, cuma begitu saja?  Kita harus menderita pulang? Terik begini? Lapar pula? Jalan kaki enam kilometer?  Demi ratu dan pangeran negeri penjajah?"  Poltak menggerutu panjang dalam hati.  Dia sungguh tak paham apa artinya merdeka dari penjajahan Belanda.

"Sengsara kalilah kita ini, Gurunami,"  Poltak mengeluh di tengah perjalanan pulang beramai-ramai.  

"Poltak, jangan mulai lagi.  Bersyukur kita bisa berjalan di jalan aspal.  Jalan raya ini, dulu, Belanda yang bikin."  Guru Marihot mengingatkan Poltak.

"Bah, apa pula enaknya jalan di aspal panas.  Tapak kakiku melepuhlah," keluh Poltak pelan, tak sampai terdengar Guru Marihot.  Murid-murid SD Hutabolon tak seorang pun mengenakan alas kali.  Semua kaki ayam.

"Ayolah, Poltak.  Jangan merepet terus.  Nanti cepat tua pula kau." Suara lembut mengingatkan Poltak dari sebelah kiri.  Poltak menoleh. Ada Berta di situ, dengan selarik senyum di bibirnya.

Poltak mendadak bersemangat.  Lupa derita karena penjajahan Belanda.  Dia berlari mengejar Bistok dan Binsar yang sudah agak jauh di depan. 

"Poltak! Tunggu aku!" teriak Berta yang tertinggal di belakang. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun