"Oi, pariban membela. Enak kalilah Poltak punya pariban," ledek Alogo, disambut tawa riuh anak-anak lainnya.
"Hei! Kenapa kalian ribut! Mengganggu!" Semua anak langsung kicep. Itu suara hardikan Guru Gayus. Guru yang selalu hadir di saat dan di tempat yang paling tak diharapkan anak-anak.
Entah dari mana datangnya, dengan cara yang tak diketahui, tiba-tiba saja Guru Gayus sudah  hadir di antara anak-anak itu.
"Kalian semua anak kelas dua! Ikut saya!" Guru Gayus menuntun Poltak dan kawan-kawan ke sebuah teratak di tepi jalan, di mulut gang masuk gereja. Itu teratak Si Garjung, demikian dia dipanggil, Â satu-satunya tukang pangkas rambut di Hutabolon. Buka hanya di hari Sabtu.Â
"Apa yang kalian ributkan tadi."
"Poltak membual, Gurunami. Katanya dia menunggang harimau dan memeluk beruang di Kebun Binatang Siantar." Jonder membabar perkara.
"Bah. Betul kau pergi ke kebun binatang, Poltak?"
"Betul, Gurunami. Aku diajak amangudaku yang kuliah di IKIP Siantar."
"Ah, bagus kali itu. Coba ceritakan pada kami apa saja yang kau lihat di sana."
Begitulah cara Guru Gayus menertibkan Poltak dan kawan-kawan. Anak-anak kelas dua itu ada di luar kelas. Mereka menunggu anak kelas satu keluar pukul 9.30. Â
"Banyak kali, Gurunami. Ada harimau belang seram, beruang hitam legam, panter hitam mengkilat, buaya raksasa, dan zebra belang hitam-putih. Ada juga kanguru mengantongi anaknya, kasuari sebesar anak kerbau, merak berekor kipas warna-warni. Ah, hebatlah, Gurunami."