Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #043] Menunggang Harimau Memeluk Beruang

22 Maret 2021   09:08 Diperbarui: 22 Maret 2021   13:57 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase foto oleh FT

"Poltak, besok ikut amanguda ke Siantar, ya? Kau mau ke Kebun Binatang, kan?"

Poltak terlonjak ke atas wuwungan rumah kakeknya sebab hatinya  terlalu sukacita.  Tentu saja dalam khayalnya.

"Aku mau lihat harimau dan beruang, Amanguda." Mata Poltak bersinar binar.  Kedua ujung bibirnya meregang nyaris menyentuh telinga.

"Kau mau tunggangi. Kau mau peluki. Boleh."

"Hah?"

Untuk pertama kalinya, sejak dilahirkan tahun 1961, Poltak bisa keluar dari rutinitas Tahun Baru di Kampung Panatapan. Keluar dari rutinitas doa pergantian tahun, saling memaafkan, minum kopi, makan sasagun, lampet dan kambang layang. Ditutup makan bersama dengan lauk daging babi pada 1 Januari. Setelah itu, kembali ke rutinitas kerja harian.

"Siantar! Aku datang!" Poltak bersorak dalam hati.

Kamis, 2 Januari 1969, pagi,  menumpang bus Betahamu, Poltak dan Parandum, amangudanya, berangkat menuju Siantar.

Siantar, Pematang Siantar, kota idaman anak-anak Panatapan. Hanya ada satu alasan bagi anak kampung itu pergi ke Siantar di tahun 1960-an. Melanjutkan sekolah setelah lulus SD, ke SMP atau SMA dan SPG terbaik yang ada di kota itu.

Jika ada anak Panatapan pergi ke Siantar hanya untuk jalan-jalan, maka Poltaklah orangnya. Hanya Poltak. Itu benar, setidaknya pada awal tahun 1969 itu.

"Poltak! Pulangnya jangan lupa bawa kumis harimau, ya!" Binsar dan Bistok sempat kompak mengingatkan sesaat sebelum Poltak naik  bus Betahamu.

Kebun Binatang Siantar menjadi obsesi Poltak, sejak Parandum mengisahkannya setahun yang lalu. Kata Parandum, Kebun Binatang itu didirikan Dr. Coonrad, seorang ahli ilmu hewan berkebangsaan Belanda, tanggal 27 November 1936.

"Kebun Binatang Siantar termasuk tertua di Indonesia. Kau bisa lihat buaya tertua di sana.Sudah ada sejak 1936." Parandum berkisah.

Obsesi Poltak terlunasi sudah. Sehari dari empat hari jalan-halan di Siantar, dihabiskannya untuk keliling Kebun Binatang. Mengamati dan mengagumi setiap hewan yang ada di sana. Harimau, beruang, panter, zebra, kanguru, mawas, lutung, buaya, kura-kura, ular pithon, ular kobra, burung merak, cenderawasih, dan burung kasuari. Hewan-hewan yang belum pernah dilihatnya.

"Teman-teman sekelasku pasti heboh.  Aku satu-satunya yang sudah ke Kebun Binatang Siantar."

Tepat, itulah yang terjadi. Senin, 6 Januari 1969, hari pertama masuk sekolah di SD Hutabolon, anak-anak kelas dua sudah riuh berdebat sejak dari barisan senam pagi di lapangan sekolah.

"Manalah ada kebun isinya binatang! Kebun isinya tanaman!" Alogo tak percaya.

"Dodong kalilah kau Alogo. Kan, bisa piara binatang di kebun." Binsar meyakinkan Alogo.

"Oi, Binsar. Bistok. Kalian bilang Poltak menunggang harimau. Memeluk beruang. Bohonglah itu." Jonder menolak percaya.

Seperti biasa, Binsar dan Bistok selalu sigap menebar isu sensasional tentang Poltak. Kali ini tentang Poltak menunggang harimau dan memeluk beruang. Terdengar tak masuk akal. Terkesan manggang, bual.

"Tak mungkinlah. Kalau menunggang kucing, memeluk anjing, bisalah Poltak itu," ejek Marolop.

"Mungkin saja, Olop. Mungkin harimau dan beruangnya sudah jinak." Berta membela.

"Oi, pariban membela. Enak kalilah Poltak punya pariban," ledek Alogo, disambut tawa riuh anak-anak lainnya.

"Hei! Kenapa kalian ribut! Mengganggu!" Semua anak langsung kicep. Itu suara hardikan Guru Gayus. Guru yang selalu hadir di saat dan di tempat yang paling tak diharapkan anak-anak.

Entah dari mana datangnya, dengan cara yang tak diketahui, tiba-tiba saja Guru Gayus sudah  hadir di antara anak-anak itu.

"Kalian semua anak kelas dua! Ikut saya!" Guru Gayus menuntun Poltak dan kawan-kawan ke sebuah teratak di tepi jalan, di mulut gang masuk gereja. Itu teratak Si Garjung, demikian dia dipanggil,  satu-satunya tukang pangkas rambut di Hutabolon. Buka hanya di hari Sabtu. 

"Apa yang kalian ributkan tadi."

"Poltak membual, Gurunami. Katanya dia menunggang harimau dan memeluk beruang di Kebun Binatang Siantar." Jonder membabar perkara.

"Bah. Betul kau pergi ke kebun binatang, Poltak?"

"Betul, Gurunami. Aku diajak amangudaku yang kuliah di IKIP Siantar."

"Ah, bagus kali itu. Coba ceritakan pada kami apa saja yang kau lihat di sana."

Begitulah cara Guru Gayus menertibkan Poltak dan kawan-kawan. Anak-anak kelas dua itu ada di luar kelas. Mereka menunggu anak kelas satu keluar pukul 9.30.  

"Banyak kali, Gurunami. Ada harimau belang seram, beruang hitam legam, panter hitam mengkilat, buaya raksasa, dan zebra belang hitam-putih. Ada juga kanguru mengantongi anaknya, kasuari sebesar anak kerbau, merak berekor kipas warna-warni. Ah, hebatlah, Gurunami."

Poltak mengambil nafas. Guru Gayus tersenyum. Anak-anak lain menyimak dengan ekspresi takjub. Polmer apa lagi, terpana melotot, mengingatkan Poltak pada sesuatu.

"Ada lagi, Gurunami. Mawas. Besar, muka lebar. Macam Polmer ..."  Sebuah tinju keras di lengan kanan Poltak memutus cerita. Polmer siap dengan tinju kedua. Sepasang ingusnya mulai mengintip di dari lubang hidung.

"Gaya gulatnya, Polmer. Gaya gulatmu macam gaya gulat mawas. Hebat kau." Polmer surut dengan senyum mengembang.  Sepasang ingusnya menghilang tersedot ke dalam rongga hidung.

"Apakah harimau itu mengaum, Poltak?" Berta bertanya penuh minat.

"Waktu aku di depan kandangnya, dia membisu. Setelah aku pergi, barulah dia mengaum."

Berta takjub. Dia pikir Poltak pasti punya ilmu limun, melinglungkan binatang buas dan orang jahat.

"Jadi, kau tak betul menunggang harimau dan memeluk beruang, kan, Poltak?" Jonder menyidik, tak percaya.

"Oh, itu betul."

"Hah?" Mulut murid-murid kelas dua ternganga. Tak percaya.

"Ceritakan, Poltak." Guru Gayus menyemangati. Masih tetap tersenyum.

"Betul, Gurunami. Aku tak bohonglah. Di kebun binatang itu ada museum. Di dalamnya ada macam-macam. Ada rangka binatang. Ada juga binatang awetan."

Poltak jeda mengambil nafas. Teman-temannya menanti tak sabar.

"Nah, di situ ada seekor harimau dan seekor beruang awetan. Aku didudukkan amangudaku di punggung harimau itu. Aku juga diperbolehkan memeluk beruang itu. Begitu. Aku tidak bohong, kan, Gurunami?"

"Ooo, menunggang harimau mati, memeluk beruang mati rupanya. Aku juga berani kalau begitu." Jonder merasa menang, tanpa kelahi.

"Tapi kau belum pernah ke kebun binatang, Jonder!" sikat Berta.

"Oii, pariban!" Alogo meledek, disambut tawa riuh anak-anak lainnya.

"Sudah, sudah. Lonceng masuk kelas sudah berdentang. Ayo, sana, masuk kelas semua." Guru Gayus menghalau Poltak dan kawan-kawannya.

Di dalam kelas, Polmer menyempatkan diri mendekat kepada Poltak.  

"Poltak, benar, kan? Aku tak seperti mawas." Dia berbisik keras ke telinga Poltak. 

Sungguh, ekspresi wajah Polmer mengingatkan Poltak pada roman muka mawas di kebun binatang. Apakah itu perlu dikatakan? (Bersambung).

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun