Pasalnya, Poltak selalu menggunakan halaman berpasir di depan rumah kakeknya  sebagai kanvas. Lalu, potongan ranting perdu sebagai alat lukis. Â
Tema favoritnya adalah keluarga dan aneka ternak peliharaan.Â
Karena dia tinggal bersama kakek dan neneknya, maka di atas halaman berpasir itu dia menggambar kakek, nenek dan dirinya. Bertiga, Poltak selalu di tengah. Â
Di sekeliling mereka bertiga ada ayam berkeliaran. Di latar belakangnya ada kerbau-kerbau merumput di kaki perbukitan.
Teman-teman Poltak biasanya  menonton dia melukis.  Mereka berdiri atau jongkok mengelilinginya. Tak lupa berkomentar ini dan itu.Â
"Tidak mirip kakek-nenekmu, Poltak," Â kritik dari Binsar.
"Mukamu macam monyet nangis, Poltak," cela Bistok.
"Itu ayam atau bondol?" Â
"Diam kalian. Ini kakek dan nenekku. Ini aku!" Poltak sewot. Â
Orang-orang dewasa, yang kebetulan lewat, biasanya berhenti sejenak. Â Mengagumi karya lukis Poltak.Â
Lalu, sebelum beranjak, melontarkan pujian. "Bah, bagus kalilah lukisanmu itu, Poltak." Â