(Cerita dari Kampung Belik)
Di sebuah desa kecil bernama Kampung Belik, tinggallah seorang bocah lelaki yang dikenal semua orang: Gundul. Bocah ini tak punya rambut, tapi akalnya licin melebihi belut sawah. Orang-orang bilang, kalau ada kekacauan di desa, pasti di situ ada suara cekikikan Gundul.
Pagi itu, di sebuah dapur sederhana, si Mbok sedang ngulek sambel terasi. Bau ikan asin dan terasi bakar menguar memenuhi dapur.
> "Gunduuul! Bangun! Itu pacul bapakmu ketinggalan! Sekalian anter makan siang ke sawah yaa!"
teriak si Mbok tanpa henti ngulek.
Gundul muncul dari balik pintu, matanya masih setengah lengket.
> "Heeeh... iya iya, Mbok... Tapi lauknya apa?"
> "Ikan asin sambel! Jangan banyak tanya, cepet jalan! Pacul sama bakulnya bawa sekalian!"
Dengan malas, Gundul menggendong pacul dan bakul nasi, lalu melenggang keluar rumah. Tapi bukan menuju sawah seperti pesan si Mbok. Oh, tidak. Gundul justru menyusuri pematang sambil nyanyi-nyanyi dan membuka bakul.
> "Hehe... makan duluan dikit kan nggak dosa..." katanya sambil menyendok nasi dan lauk yang seharusnya buat bapaknya.
Dari kejauhan, terlihat bapaknya sedang mencangkul. Saat melihat Gundul, ia berseru:
> "Gundul! Makan siangku mana?!"
> "Hee... si Mbok katanya lupa masak, Pak!"
> "Walaaaah! Anak ora ilok! Sana pulang!"
Gundul pun kabur, sambil tetap mengunyah nasi yang tinggal separuh.
Di perjalanan, ia melewati lapangan desa. Anak-anak perempuan sedang bermain jamuran. Gundul tak tahan ingin ikut.
> "Eh, main apa tuh? Ikut dong!"
> "Jangan! Kamu pasti jahil!"
> "Cuma mau cium pipi dikit kok..."
Anak-anak langsung teriak dan lari berhamburan. Gundul? Ketawa ngakak sendiri kayak habis nge-prank seisi desa.
Tak lama, ia tiba di depan rumah Wak Haji. Di sana, berdiri pohon mangga yang tinggi menjulang dengan buah kuning ranum menggoda iman.
> "Coba lempar sekali... dapet mangga!"
Satu batu dilempar...
BRAAAK!
Mangga tak jatuh, malah kaca jendela Wak Haji yang pecah.
> "WOIIII! SIAPA ITU?!"
Tanpa pikir panjang, Gundul langsung kabur lagi.
> "WAAAK! KABUUUUR!!"
Sampai di rumah, perut Gundul kembali lapar. Ia mendekati dapur dengan ekspresi memelas.
> "Mbok! Nasi masih ada kan?"
> "Ada sebakul. Tunggu, Mbok gorengin ikan dulu."
Sambil menunggu, Gundul menyalakan radio tua. Lagu "Gundul-Gundul Pacul" mengalun. Karena bosan, dia iseng-iseng menaruh bakul nasi di atas kepala dan mulai menari-nari mengikuti lagu.
> "Gundul-gundul pacul... cul... gembelengan...
Nyunggi nyunggi wakul kul....gemblelngan"
Ia keluar ke halaman sambil goyang-goyang. Bakul nasi tetap di kepala. Anak-anak desa berkumpul. Wak Haji yang sedang lewat melotot. Bapaknya pulang dan mematung. Semua warga tertawa ngakak.
Dan di tengah tawa itu...
BRAKKK!
Gundul tersandung batu. Bakul nasi tumpah. Sego seisi bakul menghampar di tanah, jadi satu lapangan. Harfiah.
"Wakul ngglempang segone dadi sak latar...Â
" Wakul ngglempang segone dadi sak latar... "
Nada lagu si gundul berubah jadi pelan dan dia tersipu siput di hadapan semua orang yang menahan amarah. Baru sadar polahnya jadi tontonan.Â
Si Mbok yang mendengar ribut ribut di luar, keluar dengan spatula di tangan. Tak pakai babibu, telinga Gundul langsung dijewer.
> "Dasar GUNDUL! Anak durhakaaa!"
> "Ampuuuun Mbok... hikz...hikz...hikz....!!"
---
Akhirnya semua warga menertawakan si Gundul. Walau nakal, semua tahu dia cuma bocah kampung yang lugu. Jahil? Iya. Tapi hatinya? Tetap bersih.
Dan begitu...
Warga bersorak sambil nyanyi bersama lagu legendaris itu.
SEMUA:
Gundul-gundul pacul, cul... gembelengan...
Wakul ngglempang, segone dadi sak latar...
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI