Di wilayah dataran rendah berhawa lembab, dikelilingi hutan jati dan aliran sungai kecil yang tak pernah kering sepanjang tahun, berdiri sebuah kerajaan kecil bernama Talasindra. Kerajaan ini tak besar, namun dikenal akan ketenangan dan kemakmuran tanahnya. Warga desa di bawah naungannya, seperti Dusun Ngrandu, hidup tenteram dan saling menjaga.
Raja Talasindra, Prabu Jagatnara, telah memimpin lebih dari tiga windu. Ia bijak dan berhati lembut, namun usia tua mulai menyapanya. Rambutnya memutih, dan langkahnya tak lagi sekuat dahulu. Harapan satu-satunya adalah putri tunggalnya, Putri Kenanga.
Putri Kenanga tak lagi muda. Dalam ukuran zaman itu, usianya bahkan sudah cukup untuk memiliki putri seusia remaja. Tapi tak ada anak yang menemaninya kini, dan tak ada suami yang berdiri di sisinya. Sepuluh tahun yang lalu, suaminya, seorang pangeran dari kerajaan seberang, tewas dalam tragedi politik yang penuh darah --- serangan mendadak yang tidak hanya menghancurkan aliansi antar kerajaan, tapi juga menghancurkan isi hati sang putri.
Putri Kenanga sedang mengandung saat itu. Namun takdir menyayat dua kali: bayi yang dikandungnya tak selamat.
Sejak saat itu, ia bersumpah tak akan pernah menikah lagi. Ia menolak pinangan bangsawan, menolak permintaan ayahnya, bahkan menolak bicara tentang tahta. Baginya, tahta tak berarti bila tak ada cinta yang menemaninya.
Hari-hari Putri Kenanga kini sunyi. Ia tak menyentuh urusan istana. Tak ada dayang yang bisa menenangkannya lama. Tapi di ruang pribadinya yang menghadap taman, ada satu benda yang selalu ia genggam saat senja tiba: sebuah papan dakon dari kayu jati hitam, buatan tangan mendiang suaminya. Di dalam peti kecilnya, ia simpan biji-biji dakon dari gading kerang laut — sisa kenangan dari masa-masa mereka bermain bersama saat malam menjelang.
Dakon itu dulunya hanya hiburan kecil. Tapi setelah kepergian suaminya, dakon itu menjadi satu-satunya penghubung antara hidup dan kenangannya. Ia memainkannya sendirian, membisikkan nama sang bayi yang tak sempat ia panggil, dan mengatur biji dakon seakan mengatur ulang takdir.
> “Hidup itu seperti dakon,” katanya pada pelayannya suatu malam,
“kau bisa pilih lubangnya, kau bisa atur langkahnya. Tapi tetap ada saat bijimu habis, dan kau harus berhenti.”
Raja Jagatnara tahu anaknya larut dalam luka. Ia mencoba mencari cara membangkitkan semangat sang putri, tapi tidak pernah berhasil.
Kesedihan dan kedukaan putri kenanga di perparah dengan dia kehilangan baginya. Anak semata wayang warisan dari sang suami yang telah meninggal. Satu satunya garis keturunan sang Raja, ayah ganda sang putri karena sebuah trik politik yang kotor dan licik. Kehilangan dan kesedihan itulah yang membuat hari hari sang putri raja berada dalam masa suram dan keputus asaan.