[caption caption="Foto: Malesbanget.com"][/caption]Terik siang mulai beranjak, Kang Dadang sedang menghitung pendapatannya untuk hari itu, ketika sebuah mobil sedan hitam berhenti persis di sisi gerobak sepeda rotinya. Seorang wanita berhijab ungu berkacamata hitam turun dari pintu depan sebelah kiri mobil sedan hitam itu. Senyum ramahnya seperti memberi isyarat bahagia di mata Kang Dadang.
"Kang, rotinya yang untuk dijual besok saya beli semua ya, Boleh khan?"
"Maksudnya bu?"
"Iya, sekarang saya bayar semua roti yang untuk dijual besok, tapi tolong besok akang bagi-bagikan ke peserta aksi di Monas, bisa ya?"
"Oh gitu, bisa bu, bisa!"
"Ok, jadi berapa semua rotinya kang?"
"Lima ratus ribu bu!"
"Ini kang, sisanya buat akang, jangan lupa besok jam enam sudah di Monas ya!"
"Insya Allah bu, siap, siap, terima kasih bu".
Setelah mobil sedan hitam berlalu, Kang Dadang bergegas membereskan gerobaknya. Menghitung uang pemberian wanita berkacamata hitam itu. Masya Allah, satu juta. Alhamdulillaah, gumamnya. Secepat angkot ia kayuh pedal sepeda gerobaknya. Rasanya pedal ini ringan sekali hari ini, ucapnya dalam hati. Senyumnya terus mengembang di bibirnya yang kering kehitaman.
Pukul enam kurang lima menit, Kang Dadang sudah stand by di depan gerbang masuk Monas. Ia memperhatikan sekeliling ada beberapa gerobak yang serupa dengannya, dengan tulisan yang sama di kaca gerobaknya." GRATIS UNTUK PESERTA AKSI".
Sekejap berikutnya, Kang Dadang sudah sibuk memberikan aneka roti kepada peserta aksi yang melintas di depannya. Ajaibnya, meskipun Kang Dadang sudah meyakinkan kepada para peserta aksi bahwa roti itu gratis, tak urung juga mereka memasukkan uang ke dalam tas pinggangnya. Kang Dadang tak bisa berbuat banyak, para peserta berlalu begitu saja setelah memasukkan uang ke dalam tasnya. Tanpa memberi kesempatan Kang Dadang untuk berkata-kata.
Pukul sembilan pagi, gerobak sepedanya sudah kosong, tak satupun roti tersisa, tas di pinggangnya sudah sesak oleh lembaran uang.
Di kontrakan kecilnya, Kang Dadang menangis. Dari mulutnya tak henti-hentinya ia mengucap syukur. Dua juta rupiah, uang yang menyesaki tas pinggangnya. Ia berniat pulang ke kampungnya di Bogor, cuti dua hari. Sudah tak sabar ia melihat binar senyum istri tercinta yang baru tiga bulan dinikahinya.
Setelah dua hari, Kang Dadang melepaskan kerinduannya pada istri tercintanya. Siang itu ia sudah mengayuh pedal sepeda gerobaknya menyusuri jalan-jalan di Jakarta. Sudah hampir pukul 12 siang rotinya belum terjual satupun. Ia memarkir sepeda gerobaknya di sebuah masjid, ada beberapa gerobak serupa berjejer di halaman masjid.
"Sepi ya kang?"
"Iya, belum terjual satupun, gak biasanya!"
"Lah emang belum tau beritanya?"
"Berita apa?"
"Roti yang kita jual diboikot sama orang-orang yang kemaren aksi, gara-gara boss kita bikin surat itu, anu, ah saya susah nyebutnya, pokoknya kaya pemberitahuan gitu!"
"Terus?"
"Ya terus, dagangan kita kagak laku!"
"Duh, bingung saya mah. Gak ngerti cara mikir orang-orang pintar itu. Kemaren saya seperti ketemu malaikat yang ngeborong dagangan saya. Terus di Monas semakin banyak malaikat-malaikat yang ngasih saya duit. Baru juga dua hari nikmatin liburan, senang-senang kaya orang kota, eh ujungnya susah lagi. Mulai hari ini dan seterusnya, kayanya saya kudu banyak-banyakin sabar, sholat, sekaligus puasa ini mah, astaghfirullah!"
Bogor 08122016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI