Di tengah hiruk-pikuk politik tanah air yang sering kali dipenuhi janji tanpa bukti, nama Dedi Mulyadi mencuat sebagai figur yang berbeda. Gubernur Jawa Barat ini dikenal bukan hanya lewat gaya komunikasinya yang merakyat dan blusukan khas Sunda, tapi juga lewat kebijakan-kebijakan progresif yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat, terutama mereka yang ada di lapisan bawah. Dari perlindungan terhadap warga miskin hingga isu pelestarian budaya lokal, Dedi sukses membangun narasi kepemimpinan yang tak hanya administratif, tapi juga humanis.
Namun di balik popularitasnya, banyak masyarakat memiliki pertanyaan mendalam yang perlu dibahas: sejauh mana program-program Dedi Mulyadi sejalan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)? Apakah langkah-langkahnya sebagai kepala daerah benar-benar berpihak pada keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan, atau sekadar pencitraan yang dibungkus kearifan lokal?
Salah satu program paling menonjol dari Kang Dedi adalah upayanya dalam melestarikan lingkungan dan budaya lokal. Lewat kampanye pelestarian pohon, pemanfaatan tanah kosong untuk penghijauan, serta promosi budaya Sunda lewat media sosial, Dedi Mulyadi membangun pendekatan yang membumi dan membangkitkan rasa bangga masyarakat terhadap identitas lokal mereka. Bahkan, banyak pihak menilai bahwa Dedi berhasil memadukan isu lingkungan dengan penguatan nilai-nilai sosial budaya, sebuah pendekatan yang jarang disentuh politisi lainnya.
Meski begitu, beberapa kalangan menilai bahwa program-program KDM terlalu personalistik dan terpusat pada figur dirinya sendiri. Alih-alih membangun sistem yang kuat, banyak inisiatif yang bergantung pada kehadiran langsung Dedi. Hal ini memunculkan pertanyaan soal keberlanjutan---akankah program-program itu tetap berjalan efektif jika Dedi tidak lagi menjabat? Ketiadaan kelembagaan yang kokoh bisa menjadi kelemahan serius dalam menjamin hak-hak rakyat secara berkelanjutan.
Selain itu, kebijakan Dedi yang sering kali viral di media sosial justru menimbulkan kekhawatiran bahwa substansi kerap dikalahkan oleh pencitraan. Misalnya, tindakan-tindakannya yang "humanis" seperti memberi bantuan langsung di jalanan memang menyentuh, tapi tidak menyelesaikan akar persoalan struktural seperti kemiskinan sistemik atau ketimpangan layanan kesehatan. Hal ini menimbulkan kritik bahwa pendekatan Dedi lebih cocok disebut karitatif daripada transformatif dan membuatnya dijuluki sebagai "gubernur konten".
Kritik juga muncul terkait konsistensi perlindungan terhadap kelompok rentan. Meski Dedi aktif menunjukkan keberpihakannya pada rakyat kecil, namun belum banyak terobosan hukum dan kebijakan yang benar-benar memperkuat hak-hak buruh, petani, atau perempuan di pedesaan. Beberapa organisasi masyarakat sipil menilai bahwa program-program Dedi belum menyentuh ranah struktural seperti redistribusi tanah, perbaikan sistem kerja, atau akses pendidikan dan kesehatan yang merata.
Salah satu program kontroversial yang sempat dilontarkan oleh Dedi Mulyadi adalah gagasannya untuk mengirimkan pelajar bermasalah ke barak militer. Tujuannya, menurut Dedi, adalah untuk menanamkan kedisiplinan, tanggung jawab, dan karakter kepada generasi muda yang dianggap "sulit diatur".
Meski terkesan solutif, pendekatan ini menuai banyak kritik karena dianggap menormalisasi metode represif dalam pendidikan. Alih-alih menyentuh aspek psikologis, sosial, atau keluarga sebagai akar masalah perilaku remaja, program ini dinilai terlalu keras dan bisa memperparah trauma, terutama bagi siswa yang mengalami kekerasan di rumah atau lingkungan.
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, memberikan respon positif dengan mendukung program dari Gubernur Jawa Barat tersebut. Natalius mengatakan rencananya untuk mengusulkan penerapan program tersebut secara lebih luas kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti.
"Ya, kami meminta Menteri Dikdasmen untuk mengeluarkan sebuah peraturan supaya ini bisa dijalankan secara masif di seluruh Indonesia, kalau bagus," menurut Pigai, Selasa (6/5/2025).
"Mereka mau dididik mental, karakter, dan disiplin, serta tanggung jawab. Kebijakan Gubernur Jawa Barat yang mau, bukan mengirim, ya, mau mendidik anak-anak nakal di barak tentara, dalam perspektif HAM, saya pertegaskan tidak melanggar HAM," katanya.