Mohon tunggu...
MochamadRafliFauzan
MochamadRafliFauzan Mohon Tunggu... Mahasiswa Kedokteran Gigi

Sedang belajar di dunia medis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Program-Program Dedi Mulyadi yang Menuai Pro Kontra

17 Juni 2025   09:19 Diperbarui: 17 Juni 2025   09:19 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah hiruk-pikuk politik tanah air yang sering kali dipenuhi janji tanpa bukti, nama Dedi Mulyadi mencuat sebagai figur yang berbeda. Gubernur Jawa Barat ini dikenal bukan hanya lewat gaya komunikasinya yang merakyat dan blusukan khas Sunda, tapi juga lewat kebijakan-kebijakan progresif yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat, terutama mereka yang ada di lapisan bawah. Dari perlindungan terhadap warga miskin hingga isu pelestarian budaya lokal, Dedi sukses membangun narasi kepemimpinan yang tak hanya administratif, tapi juga humanis.

Namun di balik popularitasnya, banyak masyarakat memiliki pertanyaan mendalam yang perlu dibahas: sejauh mana program-program Dedi Mulyadi sejalan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)? Apakah langkah-langkahnya sebagai kepala daerah benar-benar berpihak pada keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan, atau sekadar pencitraan yang dibungkus kearifan lokal?

Salah satu program paling menonjol dari Kang Dedi adalah upayanya dalam melestarikan lingkungan dan budaya lokal. Lewat kampanye pelestarian pohon, pemanfaatan tanah kosong untuk penghijauan, serta promosi budaya Sunda lewat media sosial, Dedi Mulyadi membangun pendekatan yang membumi dan membangkitkan rasa bangga masyarakat terhadap identitas lokal mereka. Bahkan, banyak pihak menilai bahwa Dedi berhasil memadukan isu lingkungan dengan penguatan nilai-nilai sosial budaya, sebuah pendekatan yang jarang disentuh politisi lainnya.

Meski begitu, beberapa kalangan menilai bahwa program-program KDM terlalu personalistik dan terpusat pada figur dirinya sendiri. Alih-alih membangun sistem yang kuat, banyak inisiatif yang bergantung pada kehadiran langsung Dedi. Hal ini memunculkan pertanyaan soal keberlanjutan---akankah program-program itu tetap berjalan efektif jika Dedi tidak lagi menjabat? Ketiadaan kelembagaan yang kokoh bisa menjadi kelemahan serius dalam menjamin hak-hak rakyat secara berkelanjutan.

Selain itu, kebijakan Dedi yang sering kali viral di media sosial justru menimbulkan kekhawatiran bahwa substansi kerap dikalahkan oleh pencitraan. Misalnya, tindakan-tindakannya yang "humanis" seperti memberi bantuan langsung di jalanan memang menyentuh, tapi tidak menyelesaikan akar persoalan struktural seperti kemiskinan sistemik atau ketimpangan layanan kesehatan. Hal ini menimbulkan kritik bahwa pendekatan Dedi lebih cocok disebut karitatif daripada transformatif dan membuatnya dijuluki sebagai "gubernur konten".

Kritik juga muncul terkait konsistensi perlindungan terhadap kelompok rentan. Meski Dedi aktif menunjukkan keberpihakannya pada rakyat kecil, namun belum banyak terobosan hukum dan kebijakan yang benar-benar memperkuat hak-hak buruh, petani, atau perempuan di pedesaan. Beberapa organisasi masyarakat sipil menilai bahwa program-program Dedi belum menyentuh ranah struktural seperti redistribusi tanah, perbaikan sistem kerja, atau akses pendidikan dan kesehatan yang merata.

Salah satu program kontroversial yang sempat dilontarkan oleh Dedi Mulyadi adalah gagasannya untuk mengirimkan pelajar bermasalah ke barak militer. Tujuannya, menurut Dedi, adalah untuk menanamkan kedisiplinan, tanggung jawab, dan karakter kepada generasi muda yang dianggap "sulit diatur".

Meski terkesan solutif, pendekatan ini menuai banyak kritik karena dianggap menormalisasi metode represif dalam pendidikan. Alih-alih menyentuh aspek psikologis, sosial, atau keluarga sebagai akar masalah perilaku remaja, program ini dinilai terlalu keras dan bisa memperparah trauma, terutama bagi siswa yang mengalami kekerasan di rumah atau lingkungan.

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, memberikan respon positif dengan mendukung program dari Gubernur Jawa Barat tersebut. Natalius mengatakan rencananya untuk mengusulkan penerapan program tersebut secara lebih luas kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti.

"Ya, kami meminta Menteri Dikdasmen untuk mengeluarkan sebuah peraturan supaya ini bisa dijalankan secara masif di seluruh Indonesia, kalau bagus," menurut Pigai, Selasa (6/5/2025).

"Mereka mau dididik mental, karakter, dan disiplin, serta tanggung jawab. Kebijakan Gubernur Jawa Barat yang mau, bukan mengirim, ya, mau mendidik anak-anak nakal di barak tentara, dalam perspektif HAM, saya pertegaskan tidak melanggar HAM," katanya.

Di sisi lain, sejumlah pihak mulai angkat suara. Banyak kalangan menilai bahwa pendekatan ini terlalu keras dan tidak sesuai dengan prinsip pendidikan yang humanis. Kritik datang dari orang tua, pendidik, hingga pemerhati HAM yang mempertanyakan urgensi dan dampak jangka panjang dari kebijakan ini terhadap psikologis anak.

"Sebetulnya itu bukan kewenangan TNI untuk melakukan civil education. Mungkin perlu ditinjau kembali rencana itu," ujar Atnike Nova Sigiro, Ketua Komnas HAM, Jumat (2/5/2025).

"Penguatan karakter bukan selalu berarti mendidik siswa bermasalah dengan cara militeristik. Penanganan siswa bermasalah harus dipahami secara holistik dengan menelaah keluarga, lingkungan pergaulan, dan aktivitas di sekolah," ucap Bonnie Triyana, Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Rabu (30/4/2025).

Program pengiriman siswa bermasalah ke barak militer oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat menuai kritik tajam dari berbagai pihak karena berpotensi melanggar prinsip hak anak. Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menegaskan bahwa mendidik anak di bawah umur dalam konteks kemiliteran sebagai bentuk hukuman adalah langkah yang keliru dan bahkan di luar kerangka hukum pidana anak, karena bukan bagian dari pendidikan formal dan mengabaikan fungsi peradilan anak yang seharusnya mendasari penanganan perilaku menyimpang. Selain itu, anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, juga menyoroti bahwa problem siswa bermasalah memerlukan pendekatan holistik---meliputi psikolog, konseling, analisis keluarga, hingga pendampingan lingkungan---bukan "solusi instan" militeristik semata.

Dari sudut HAM, program ini bisa dikritisi karena mempromosikan praktik represif yang kontraproduktif dengan hak anak untuk mendapatkan pendidikan ramah dan penuh penghormatan. Alih-alih memberdayakan, pengiriman siswa untuk "dididik ala militer" menempatkan mereka dalam situasi hukuman tanpa mekanisme perlindungan hukum, seperti pendampingan psikologis, jaminan proses hukum, dan kesempatan untuk didengar---yang menjadi hak dasar menurut Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Sementara pendekatan TNI melalui asrama militer mungkin bertujuan mendisiplinkan, tanpa payung hukum yang jelas dan kontrol ketat, justru berisiko menciptakan trauma dan melanggengkan pelanggaran HAM terhadap kelompok rentan seperti remaja bermasalah.

Pada akhirnya, program-program Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat menunjukkan adanya semangat untuk membangun masyarakat melalui pendekatan yang dekat dengan akar budaya dan kehidupan rakyat kecil. Gagasan-gagasan seperti pelestarian lingkungan, pembinaan karakter, serta penguatan identitas lokal patut diapresiasi dalam konteks kepemimpinan daerah yang ingin lebih membumi. Namun, tak sedikit pula kritik yang mengemuka, terutama terkait pendekatan yang dianggap terlalu personalistik dan karitatif.

Dalam perspektif HAM, kebijakan seperti pengiriman siswa ke barak militer patut dikaji ulang secara serius. Meskipun niatnya tampak baik, implementasinya bisa berdampak buruk jika tidak dilandasi pendekatan yang holistik dan sistematis. Pendidikan tidak seharusnya dibangun di atas rasa takut dan disiplin paksa, melainkan dengan penghormatan terhadap hak anak, perlindungan psikologis, dan peran keluarga serta sekolah yang aktif. Kepemimpinan yang kuat bukan hanya soal popularitas dan gesture simbolik, tetapi juga soal keberanian membangun sistem yang adil, partisipatif, dan berkelanjutan. Sudah saatnya kebijakan publik tak hanya "dekat rakyat", tapi juga "berpihak pada hak-hak rakyat".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun