Mohon tunggu...
sukarti dimejo
sukarti dimejo Mohon Tunggu... :)

ad maiorem dei gloriam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Em dash within

18 September 2025   06:01 Diperbarui: 18 September 2025   11:27 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Harus apa bu?" Harus menanggung malu seumur hidupku, ia bergumam pelan namun aku dapat mendengarnya dengan jernih dan jelas. Apa yang bisa kubanggakan dari anak yang gagal studi? Lanjutnya. Klik, seketika amarahku datang. Kumatikan kompor lalu bergegas menuangkan air panas ke dalam ember, rutinitas sore hari, memandikannya. Sabar, sabar, sabar bisikku pelan, berusaha memadamkan emosi yang akan pecah. Mungkin ia lupa atau memang sudah tidak bisa mengingat sama sekali bila surga telah dinyatakan berada dibawah telapak kakinya. Sungguh ucapannya tidak bisa menggambarkannya!

Sebatang kretek kusesap cepat-cepat seperti sebuah seremoni keberhasilan. Ya, keberhasilan dalam menahan marah dan menuntaskan rutinitas. Ha ha ha ha, aku tertawa sendirian sebelum terbatuk dan teringat,

"Terima kasih Tuhan untuk hari ini, amin" 

Kulanjutkan dengan menyeka wajah lalu berdiam sebentar, sebuah kebiasaan yang benar-benar tak bisa hilang. Mungkin ini yang disebut dengan waktunya mendengar Ia berkata. Setelah selesai, aku beranjak ke ruang tengah untuk melihatnya dan kemudian mengantarnya ke dalam kamar untuk tidur.

Dan rutinitas berulang kembali, sembahyang, tidur, bangun pagi, doa pagi, melayaninya sarapan dan seterusnya dan seterusnya dan... 

"Harus apa bu?" Harus menanggung malu seumur hidupku, ia bergumam pelan namun aku dapat mendengarnya dengan jernih dan jelas. Apa yang bisa kubanggakan dari anak yang gagal studi? 

Mendengarkan lagi ucapannya yang menyakitkan hati, meruntuhkan semangat, meskipun sesungguhnya yang ia katakan sungguh benar bahwa aku gagal studi, aku keluar dari seminari! Tapi bukan karena aku melarikan diri dari kuk yang hendak dipakaikan, tapi karena...

"Aku tidak jadi pensiun tahun ini," kata kakakku waktu itu, hari itu, sebelum teman-teman menahanku pergi untuk kembali ke rumah meninggalkan panggilanNya, untuk merawat ibu.    

"Ton"

"Ton"

"Ton, yang kuat ya, aku turut berduka cita"

"Eh iya iya Din," Anton buru-buru menutup buku diary adiknya lalu mengulurkan tangannya,

"Terima kasih Din" 

Anton berpaling lalu menangis. Cita-cita adiknya menjadi Pastor menyeruak datang, membawa sesal dan amarah. Sesal karena ia tak mampu menggantikannya merawat ibu dan marah karena kakaknya yang egois sehingga membuat adiknya harus keluar dari seminari! 

"Mas Anton? Boleh prosesi pemakaman kami lanjutkan dengan misa?"

"Iya romo, maaf, silakan"

.

.

.

seperti daun dalam hempasan angin,

biarlah kuterbang karena Ia yang ingin

.

seperti tanah berpasir yang lembut bergulir,

cobalah untuk tak mengatakan sebuah kata: sudah berakhir

.

karena aku adalah daun ketika engkau sang pohon,

sudah terlalu jauh untuk menimang gamang, 

lalu menjauh seperti lepasnya sang balon

.

.

.


Pelengkap tulisan: how to use em dash

18 September 2025

sd

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun