Dalam dunia kerja yang penuh tekanan dan ketidakpastian, muncul sebuah fenomena baru yang diam-diam menghantui para karyawan: quiet cutting.Â
Istilah ini mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, namun praktiknya sudah berlangsung sejak lama di balik layar banyak perusahaan.
Quiet cutting adalah metode pemutusan hubungan kerja (PHK) secara tidak langsung.Â
Bukan lewat surat pemberhentian yang eksplisit, melainkan dengan cara-cara halus seperti memindahkan posisi karyawan secara sepihak, menurunkan jabatan, atau memberikan tanggung jawab yang tidak relevan.Â
Harapannya, si karyawan merasa tidak nyaman, lalu mengundurkan diri dengan sendirinya. Dalam bahasa sederhana: perusahaan tidak memecatmu, tapi membuatmu ingin keluar.
Asal Usul Istilah "Quiet Cutting"
Istilah quiet cutting mulai populer pada tahun 2023, berbarengan dengan maraknya fenomena quiet quitting yang dilakukan oleh karyawan.Â
Jika quiet quitting adalah aksi diam-diam menarik diri dari tanggung jawab kerja karena merasa tidak dihargai atau lelah secara mental, maka quiet cutting adalah versi sebaliknya dari sisi perusahaan.
Perusahaan yang melakukan quiet cutting seolah ingin "balas diam-diam".Â
Daripada melakukan PHK secara terang-terangan yang membutuhkan biaya pesangon besar dan proses administratif yang panjang, mereka memilih jalan yang lebih tenang namun penuh tekanan: menggeser karyawan ke posisi yang tidak sesuai atau bahkan membuat mereka merasa tidak berguna.
Taktik Lama yang Dikemas Ulang
Meskipun istilahnya baru, praktiknya bukan hal baru. Di banyak perusahaan, terutama saat restrukturisasi atau efisiensi operasional, praktik semacam ini sudah dilakukan bertahun-tahun.Â
Hanya saja, sekarang ia punya nama dan mulai mendapatkan sorotan publik.
Dalam praktiknya, quiet cutting bisa muncul dalam berbagai bentuk: perubahan posisi yang tiba-tiba tanpa alasan jelas, hilangnya deskripsi pekerjaan yang berarti, tugas-tugas yang menurun kualitas dan volumenya, bahkan pemisahan secara sosial dari tim utama.Â
Tidak ada yang berkata secara langsung, "Kami ingin kamu pergi," tapi sinyal-sinyal itu terasa.
Dampak Psikologis Bagi Karyawan
Bagi karyawan, quiet cutting adalah pengalaman yang membingungkan dan menekan.Â
Ketika seseorang dipindahkan ke peran yang tidak diinginkan, tanpa penjelasan atau tujuan yang jelas, muncul perasaan kecewa dan tidak dihargai.Â
Mereka mulai mempertanyakan kompetensi diri, kepercayaan terhadap manajemen perlahan memudar, dan semangat kerja pun menurun drastis.
Menurut survei yang dikutip Forbes, 56 persen responden menyatakan lebih memilih dipecat langsung dibanding mengalami quiet cutting.Â
Setidaknya, PHK langsung memberikan kejelasan dan keadilan dalam proses. Sementara quiet cutting hanya menyisakan ketidakpastian dan ketidaknyamanan yang lama-lama menggerus kesehatan mental.
Jika fenomena ini dibiarkan, bukan hanya individu yang terdampak.Â
Moral tim secara keseluruhan bisa rusak, budaya kerja yang sehat berubah menjadi lingkungan yang penuh kecemasan, dan pada akhirnya berdampak buruk bagi produktivitas perusahaan itu sendiri.
Cara Menghadapi Quiet Cutting dengan Bijak
Menghadapi quiet cutting memang tidak mudah. Namun, ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar tetap bertahan secara profesional dan mental:
Pertama, penting untuk menjaga pola pikir terbuka. Perubahan yang dipaksakan mungkin terasa menyakitkan, namun bisa jadi membuka pintu bagi peluang lain.Â
Bersikap fleksibel dan tidak langsung menolak perubahan posisi bisa jadi langkah awal untuk menilai apakah ada ruang pertumbuhan baru yang mungkin tersembunyi.
Kedua, segera lakukan komunikasi terbuka dengan atasan atau HRD.Â
Tanyakan alasan perpindahan posisi secara langsung, sampaikan keresahan dengan cara profesional, dan tunjukkan kesiapan untuk menerima tantangan baru---selama itu masuk akal dan tidak menjebak.
Ketiga, manfaatkan momen ini untuk menambah skill. Jika posisi baru memaksa belajar hal baru, jadikan itu modal untuk memperluas kemampuan.Â
Tak ada ruginya berinvestasi dalam pengembangan diri, entah lewat pelatihan, sertifikasi, atau mentoring.
Pada akhirnya, mindset positif dan komunikasi adalah dua senjata utama untuk bertahan menghadapi perubahan tempat kerja yang tak selalu nyaman.
Quiet Firing: Saudara Kandung yang Lebih Kejam
Dalam spektrum yang sama, ada istilah lain yang sering disamakan dengan quiet cutting, yaitu quiet firing. Sekilas serupa, namun sejatinya lebih keras dan menyakitkan.Â
Quiet firing adalah upaya sistematis perusahaan untuk mendorong karyawan keluar dengan cara membuat mereka merasa tidak berkompeten, tidak dihargai, dan terpinggirkan.
Tanda-tandanya bisa lebih jelas: kamu tidak pernah dipromosikan meski performa bagus, kenaikan gaji tidak kunjung datang, tidak mendapat umpan balik yang membangun, bahkan cenderung dihindari oleh atasan.Â
Dalam rapat, pendapatmu diabaikan. Dalam tim, kamu tidak dilibatkan. Rasanya seperti dijadikan hantu di tempat kerja.
Menurut Forbes, quiet firing adalah strategi pasif-agresif yang lebih licik. Alih-alih memberikan kejelasan, perusahaan menggunakan ketidakpedulian sebagai senjata.Â
Dan bagi karyawan, efeknya bisa sangat destruktif---tidak hanya terhadap karier, tetapi juga pada harga diri dan kesehatan mental.
Menghadapi Realitas, Menjaga Diri
Baik quiet cutting maupun quiet firing adalah cerminan dari budaya kerja yang tidak sehat.Â
Sayangnya, dalam dunia kerja yang kompetitif dan kadang kejam, strategi ini masih kerap terjadi, bahkan di perusahaan besar sekalipun. Maka dari itu, kita harus waspada dan cerdas membaca situasi.
Jika kamu mulai merasa dijauhkan dari tim, diturunkan tanggung jawabnya, atau tiba-tiba dipindahkan tanpa alasan jelas, mungkin ada sinyal bahwa kamu sedang "dipersiapkan" untuk keluar.Â
Di titik ini, penting untuk mengevaluasi situasi, berkonsultasi dengan mentor atau pihak profesional, dan merencanakan langkah selanjutnya---apakah itu bertahan dengan strategi baru, atau mempersiapkan diri mencari tempat kerja yang lebih sehat.
Yang paling penting: jangan menyalahkan diri sendiri. Kamu tidak sendirian. Fenomena ini terjadi di banyak tempat.Â
Kuncinya adalah menjaga martabat, membela hak secara elegan, dan terus berusaha tumbuh dalam kondisi apapun.
Penutup: Menuju Dunia Kerja yang Lebih Manusiawi
Quiet cutting dan quiet firing adalah dua wajah dari sistem kerja yang mulai kehilangan empatinya.Â
Di tengah tekanan ekonomi dan kompetisi yang tinggi, perusahaan sering lupa bahwa di balik angka dan target ada manusia dengan rasa, harga diri, dan harapan.
Sudah saatnya perusahaan mengambil pendekatan yang lebih transparan dan adil dalam mengelola SDM. Dan bagi kita, para pekerja, menjaga kesehatan mental dan martabat dalam bekerja adalah prioritas utama.Â
Semoga ke depan, dunia kerja menjadi tempat yang lebih manusiawi, bukan hanya produktif tapi juga penuh rasa hormat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI