Menurut Forbes, quiet firing adalah strategi pasif-agresif yang lebih licik. Alih-alih memberikan kejelasan, perusahaan menggunakan ketidakpedulian sebagai senjata.Â
Dan bagi karyawan, efeknya bisa sangat destruktif---tidak hanya terhadap karier, tetapi juga pada harga diri dan kesehatan mental.
Menghadapi Realitas, Menjaga Diri
Baik quiet cutting maupun quiet firing adalah cerminan dari budaya kerja yang tidak sehat.Â
Sayangnya, dalam dunia kerja yang kompetitif dan kadang kejam, strategi ini masih kerap terjadi, bahkan di perusahaan besar sekalipun. Maka dari itu, kita harus waspada dan cerdas membaca situasi.
Jika kamu mulai merasa dijauhkan dari tim, diturunkan tanggung jawabnya, atau tiba-tiba dipindahkan tanpa alasan jelas, mungkin ada sinyal bahwa kamu sedang "dipersiapkan" untuk keluar.Â
Di titik ini, penting untuk mengevaluasi situasi, berkonsultasi dengan mentor atau pihak profesional, dan merencanakan langkah selanjutnya---apakah itu bertahan dengan strategi baru, atau mempersiapkan diri mencari tempat kerja yang lebih sehat.
Yang paling penting: jangan menyalahkan diri sendiri. Kamu tidak sendirian. Fenomena ini terjadi di banyak tempat.Â
Kuncinya adalah menjaga martabat, membela hak secara elegan, dan terus berusaha tumbuh dalam kondisi apapun.
Penutup: Menuju Dunia Kerja yang Lebih Manusiawi
Quiet cutting dan quiet firing adalah dua wajah dari sistem kerja yang mulai kehilangan empatinya.Â
Di tengah tekanan ekonomi dan kompetisi yang tinggi, perusahaan sering lupa bahwa di balik angka dan target ada manusia dengan rasa, harga diri, dan harapan.
Sudah saatnya perusahaan mengambil pendekatan yang lebih transparan dan adil dalam mengelola SDM. Dan bagi kita, para pekerja, menjaga kesehatan mental dan martabat dalam bekerja adalah prioritas utama.Â