Tawa yang Dibayar dengan Luka
Di sebuah sudut jalan, seorang anak kecil tertawa lepas melihat seekor monyet mengenakan jaket lusuh, melompat-lompat mengikuti perintah pawangnya. Orang-orang dewasa menonton sambil tersenyum, sebagian melemparkan receh ke kaleng yang diletakkan di tanah. Sekilas, pemandangan itu tampak menghibur, tontonan gratis di tengah padatnya kota. Namun, jika kita perhatikan lebih dekat, tawa itu dibayar dengan luka. Rantai besi menjerat leher monyet kecil itu, matanya lelah, gerakannya bukan karena senang, melainkan karena terpaksa.
Inilah wajah kelam topeng monyet, sebuah "tradisi hiburan" yang dulu dianggap wajar, tetapi sesungguhnya merupakan bentuk eksploitasi satwa liar.
Â
Luka di Balik Hiburan Jalanan
Topeng monyet pernah menjadi hiburan jalanan yang populer di kota-kota besar Indonesia, terutama Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Seekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dipaksa mengenakan topeng, sepeda mini, atau pakaian aneh, lalu beraksi mengikuti aba-aba pawang. Semakin patuh monyet itu, semakin deras uang receh yang masuk ke kaleng.
Tetapi, jarang sekali penonton menyadari harga yang harus dibayar si monyet. Sejak kecil, anak-anak monyet dipisahkan dari induknya, dirantai, bahkan dicabut giginya agar tidak bisa menggigit. Mereka dilatih dengan kekerasan, pukulan, cambukan, atau ancaman kelaparan, hingga akhirnya terbiasa melakukan gerakan yang bagi kita terlihat lucu. Padahal, bagi mereka, itu adalah hasil dari rasa takut.
Menurut laporan berbagai organisasi penyelamat satwa, monyet-monyet ini mengalami stres kronis, luka fisik, dan trauma berkepanjangan. Hidup mereka jauh dari habitat alami, yang seharusnya berupa hutan dengan kelompok sosial yang kompleks.
Â