Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Petualangan Cinta Air dan Api

3 Januari 2019   07:46 Diperbarui: 3 Januari 2019   08:59 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab IX

Janjinya kepada cinta
Adalah janji suci untuk tetap bersama
Meski nyawa akhirnya harus direlakan
Meski jiwa akhirnya harus diserahkan
Meski raga akhirnya harus dikuburkan
Janjnya tetap dipenuhi
Karena cintanya sebesar tubuh bumi

Bab X

Malam kebangkitan Sang Naga Merapi-Puncak Gunung Merapi. Suara bergemuruh semakin sore semakin keras.  Angin juga bertiup sangat kencang. Di atas langit berputar putar sepasang burung elang.  Dua ekor burung perkasa ini seperti sedang bersiap menyambut datangnya sebuah peristiwa besar.  Bersiap menjadi saksi bangunnya Sang Naga yang tertidur ratusan tahun lamanya.

Semua orang yang berada di puncak Merapi bisa merasakan betapa hawa panas yang sangat luar biasa mengalir keluar dari kawah memenuhi udara.  

Getaran getaran gempa yang semakin kuat, kini mulai mengganggu keseimbangan kaki yang sedang berdiri.  Suara gemuruh dari dalam perut Merapi seperti suara suara kiamat sedang mendekat.  Menciutkan nyali siapa saja yang mendengarnya.  Beberapa orang yang tidak cukup kuat tekadnya, berdiri memucat dengan wajah kehilangan darah sama sekali. 


Matahari hampir tergelincir di ujung barat.  Sementara bulan yang tubuhnya sedang penuh sempurna sudah terlihat membayang di ujung timur.  Dua unsur semesta ini seperti sedang berlomba.  Yang satu ingin segera turun dari tahtanya, dan yang satu ingin cepat cepat menuju puncak langit melaksanakan tugasnya.

Suasana sangat mencekam sekarang.  Sinar matahari yang terakhir sudah mulai menghilang bersamaan dengan keremangan yang datang.  Sinar bulan menghampiri bumi untuk mencumbunya dengan perlahan.  Puncak Merapi terasa seperti dunia lain yang tak pernah ada sebelumnya.

Semakin mendekati puncaknya malam, suara gemuruh dari perut Merapi semakin tak henti.  Tanah di puncak gunung itu terasa bergoyang goyang kencang.  Cuaca sangat cerah dan terang.  Sinar bulan sudah menguasai sepenuhnya tubuh bumi.  Angin mulanya hanya semilir pelan, namun makin malam makin membadai.  

Dengan melihat situasi yang tanpa mendung tanpa tanda tanda akan turun hujan, seharusnya angin tidak bertiup seperti ini.  Ada kuasa lain yang sedang menguasai tempat ini. Entah kuasa kegelapan entah kuasa kebaikan.

Semua orang sekarang berdiri tidak jauh dari kawah Merapi.  Berdebar debar menunggu apa yang terjadi.  Semuanya hanya pernah mendengar cerita tentang bangkitnya Naga Merapi.  Tapi tak ada satupun di situ yang pernah menyaksikan secara langsung peristiwa ajaib itu.  

Tak terkecuali Andika Sinatria dan Putri Anjani.  Mereka ada di sisi kawah sebelah utara.  Berdiri tidak jauh dari mereka nampak seorang kakek tinggi kurus berwajah murung yang pernah melewati perkemahan mereka.  Kakek ini sebenarnya adalah Ki Gularma.  Tokoh sakti pasundan yang sedang dicari cari oleh Ki Mandara.  Di sebelah Ki Gularma berdiri berjajar para tokoh Pengemis Jubah Perak. 

Lalu berturut turut ke arah timur kawah terlihat tiga tokoh dari negeri Cina.  Tiga tokoh yang betul betul khusus datang dari negeri Cina sejak pertengahan saka yang lalu untuk ikut menyaksikan peristiwa besar ini.  Tiga tokoh ini di negaranya dikenal dengan sebutan Tiga Pendekar Malaikat.  

Tiga orang yang menggemparkan negeri Cina karena kepandaian silatnya yang luar biasa.  Tiga Pendekar Malaikat adalah penguasa dunia persilatan bagian timur negeri itu.  karena itu mereka sering disebut juga sebagai Penguasa Langit dari Timur.

Di sebelah kiri jauh Tiga Pendekar Malaikat, berdiri Ki Mangkubumi bersama Arawinda.  Gadis manis itu terlihat sangat tegang.  Wajahnya terlihat bersemangat namun pucat pasi.  Di belakang tokoh tokoh besar ini, berkumpul beberapa puluh orang yang berasal dari banyak tempat di pulau Jawa.  

Puluhan orang ini sadar diri bahwa mereka tidak mempunyai kepandaian yang cukup untuk berdiri di jajaran depan saat Sang Naga memunculkan diri. Sekarang saja keberanian mereka sudah sangat menciut akibat guncangan gempa dan suara gemuruh mengerikan perut Merapi yang menggetarkan hati.

Di sebelah barat kawah puncak Merapi juga dipenuhi oleh para tokoh besar dunia persilatan.  Nampak lima orang jagoan dari India berdiri dengan gagah.  Mereka adalah tokoh ternama dari negeri India yang berjuluk Lima Kobra Benggala.  Orang orang ini juga datang ke puncak Merapi atas kemauan sendiri.  

Berturut turut terlihat Maesa Amuk dan rombongan dari kerajaan Majapahit.  Lalu Raja Iblis Nusakambangan dan rombongan dari kerajaan Lawa Agung.  Ke arah selatan kawah, nampak Ki Biantara bersama muridnya Ardi Brata.  Lalu Sumowongso dan Si Kumbang Hitam. 

Di bagian selatan terdapat bagian paling terpencil dan terjal, ada batu yang menjorok ke arah kawah.  Sebuah batu besar yang terlihat seperti burung garuda.  Di atas batu besar itu berdiri seorang kakek kecil kurus yang kelihatan lemah.  Kakek itu terlihat sangat tenang meski jika terjadi apa apa, batu besar tempatnya berdiri adalah tempat yang paling berbahaya.

Rombongan Arya Dahana sengaja tidak mau berdiri di bibir kawah.  Mereka memilih tempat yang tidak terlalu ramai.  Dan itu berarti berada di belakang kakek kecil kurus yang berdiri di atas batu Garuda.  Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri sama sama menyipitkan mata.  Keduanya serasa mengenal sosok kecil kurus yang hanya terlihat dari belakang itu.  

Serempak Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri saling pandang dan beradu mata setelah menyadari siapa kakek itu.  Datuk Rajo Bumi!

Bimala Calya melihat raut muka kaget Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri.  Dia berbisik pelan bertanya.  Dewi Mulia Ratri menjelaskan dengan berbisik bahwa kakek itu adalah Datuk Rajo Bumi.  Tokoh sakti luar biasa dari negeri seberang yang pernah berseteru dengan mereka dua kali, saat tidak sengaja bertemu di sebuah hutan luar ibukota Majapahit dan ketika pecah perang besar Blambangan.  

Dyah Puspita membenarkan cerita itu sambil mengangguk angguk kepada Bimala Calya.  Bimala Calya mengangguk angguk mengerti.  Pantas saja kakek ini berani berdiri di tempat yang paling berbahaya di pinggiran kawah.  Ternyata dia adalah tokoh sakti yang jarang ketemu tandingan itu.

Mereka lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk melihat siapa saja tokoh tokoh besar yang hadir di sini.  Semuanya tercekat hatinya terutama Bimala Calya, ketika melihat seorang berperawakan tinggi besar menggunakan topeng emas berdiri tidak jauh dari mereka.  Orang itu tidak berdiri di pinggiran kawah.  Hanya saja tempat yang dipilihnya juga sama berbahayanya dengan batu Garuda.

Dia berdiri dengan gagah di sebuah ceruk bekas tempat aliran lava Gunung Merapi.  Jika tidak mempunyai ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, pasti orang itu akan jatuh ke bawah dengan cepat karena ceruk itu hanya berisi pasir lembut yang terus bergerak mengarah ke arah kawah.

Bimala Calya terlihat sangat pucat.  Wajahnya berubah seperti kertas.  Tak berdarah sama sekali.  Arya Dahana menjadi khawatir melihat ini.  Dia menggamit Dyah Puspita menanyakan apa yang terjadi pada gadis dari Lawa Agung itu.  Dyah Puspita menggelengkan kepala, namun lalu berbisik di telinga Bimala Calya yang berdiri mematung menahan nafas.  Bimala Calya bergetar suaranya meskipun juga sambil berbisik,  Panglima Kelelawar...ayah angkatnya yang mengerikan ada di sini juga.

Arya Dahana menimbang nimbang.  Kemampuan Panglima Kelelawar berdiri di tempat yang sangat berbahaya sudah menunjukkan betapa hebatnya kemampuan ilmunya.  Kemampuan tokoh ini sepertinya tidak kalah dengan Datuk Rajo Bumi.  Selain itu ada sebuah aura yang menggiriskan dari tokoh yang mengenakan jubah hitam panjang serta bertopeng ini.  Aura yang tidak bisa dijelaskan secara kasat mata.  Aura yang timbul dari sebuah kemampuan di dalam diri dan disokong kekuatan gaib yang luar biasa.

Panglima Kelelawar bukannya tidak tahu ada anak angkatnya bersama dengan tiga orang muda tidak jauh darinya.  Namun tokoh aneh dan sakti ini tidak peduli sama sekali.  Perhatiannya tercurah sepenuhnya pada peristiwa yang sebentar lagi akan terjadi. 

Dyah Puspita memejamkan matanya.  Gadis ini sedang berusaha menguatkan diri.  Jalan menuju kesembuhan pemuda yang dikasihinya ini luar biasa terjal.  Dua tokoh luar biasa yang kemampuannya di atas mereka ada di sini.  Dia sama sekali tidak jerih.  Namun alangkah patah hatinya jika sampai batu mustika itu jatuh ke tangan orang lain.  

Itu sama artinya dengan membiarkan Arya Dahana mati kapan saja.  Kelihaian pemuda itu semakin tinggi.  Ilmu pukulan Geni Sewindu sudah sempurna dikuasainya.  Ilmu pukulan Busur Bintang sudah sampai pada tingkat yang tak terbayangkan meski belum sempurna.  Kapan saja dua pukulan itu membalik, sangat besar kemungkinannya pemuda itu akan tewas saat itu juga.

Gadis putri Ki Tunggal Jiwo itu merinding.  Dia tidak sanggup membayangkan Arya Dahana tewas di depan matanya.  Lebih baik dia yang pergi terlebih dahulu.  Tapi sebelum pergi dia harus berhasil mendapatkan mustika itu terlebih dahulu.  Dia harus memastikan Arya Dahana baik baik saja setelah dia tinggalkan.  Perasaan pedih dan sedih merayapi hati gadis yang sangat mencintai Arya Dahana ini.  Pedih yang tidak bisa dikendalikan sama sekali dan yang tidak dia ketahui penyebabnya apa.

Arya Dahana sempat melihat dua titik airmata meloncat dari mata Dyah Puspita sebelum buru buru dihapus agar tak terlihat siapapun.  Pemuda ini termangu mangu.  Ada yang aneh dari gadis yang telah menyelamatkan nyawanya beberapa kali ini.  Wajahnya seringkali terlihat kosong dan menyiratkan kepedihan yang sangat dalam.  Tidak pernah dia melihat Dyah Puspita begitu secara terus terusan sebelum ini.  Hati pemuda ini berdebar debar tak menentu.  Ada sesuatu yang sangat besar sepertinya akan terjadi tidak lama lagi.

Bulan purnama sebentar lagi akan bertahta dengan agung di puncak langit.  Semua orang terlihat sangat cemas namun penasaran sekaligus penuh harapan.  Gempa sekarang terjadi berulang ulang dan semakin dahsyat.  Guguran batu batu terjadi seiring dengan berguncangnya bumi di sekitar puncak Merapi.  Angin berhembus sangat kencang.  Suaranya menderu deru memekakkan telinga.  

Gemuruh yang berasal dari perut Merapi juga semakin dahsyat.  Gemuruh ini juga terdengar semakin mendekat.  Bahkan air kawah yang luar biasa panas dari lava gunung berapi, sekarang semakin mendidih dan mulai bergerak naik ke atas perlahan lahan.  Asap tebal secara cepat meluncur keluar dari kawah gunung.  Gunung pemarah ini bersiap mau meletus!!

Beberapa orang sangat ketakutan.  Orang orang ini kemudian berhamburan dan lari menuruni puncak gunung dengan cepat.  Separuh dari orang orang yang tadinya memenuhi puncak Merapi melarikan diri.  Hanya tinggal tokoh tokoh besar yang masih bertahan.  Mereka ini tidak peduli dengan kenyataan gunung ini akan meletus atau tidak.  Naga Merapi yang ditunggu tunggu sebentar lagi akan melayang keluar dari kawah Merapi. 

Tepat saat purnama menyentuh puncak langit.  Terdengar suara lengkingan aneh yang menulikan telinga semua orang.  Bumi berguncang sangat dahsyat.  Bola bola api terlompat keluar dari perut Merapi.  Seperti mengejar puluhan orang yang tadi melarikan diri.  Bersamaan dengan keluarnya bola bola api itu, dari tengah tengah kawah yang bergolak hebat melayang keluar sebuah benda raksasa yang juga diselimuti oleh api yang berkobar kobar.

Benda besar itu melayang di atas kawah.  Seekor naga yang diselimuti api melihat sekeliling dengan penuh kemarahan.  Naga itu terbang berputar putar.  Matanya yang sangat besar memperhatikan orang orang yang sekarang bersiap siap menyerang.  Naga itu perlahan lahan mendaratkan tubuhnya di pinggiran kawah sebelah utara.  

Bersamaan dengan mendaratnya tubuh raksasa itu, gempa berhenti seketika.  Angin yang tadinya membadai menyurut menjadi angin sepoi sepoi saja. Air kawah yang tadi hampir menyentuh permukaan menurun dengan cepat.  Suara gemuruh perut Merapi mendadak juga terdiam.

Naga itu luar biasa besar.  Tubuhnya sebesar empat kali pohon kelapa.  Sisik sisiknya mengkilat seperti baja.  Matanya yang besar merah menyala.  Api yang tadi menyelubungi sekujur tubuhnya kini menghilang.  Lidahnya yang keluar masuk diselimuti api berwarna kebiruan.  Ada sebuah cahaya memancar terang di atas kepala naga itu. Semua orang memandang dengan takjub.  Inilah naga ajaib yang ditunggu tunggu!  Dan tidak salah lagi, cahaya yang memancar di atas kepala naga itu pastilah Mustika Api!

Naga Merapi mendarat tidak jauh dari Andika Sinatria dan orang orang yang menunggu di bibir kawah sebelah utara.  Secara serentak  Andika Sinatria, Putri Anjani, Ki Gularma, dan para Pengemis Berjubah Perak menerjang ke depan.  Semuanya berlomba melompat ke arah kepala Sang Naga untuk mengambil Mustika Api.  Naga itu menggeram keras.  Ekornya yang berduri dihantamkan ke tanah.  Debu tebal mengepul tinggi menyelubungi sekujur tubuhnya. Tentu saja ini menghalangi pandangan orang orang yang sedang maju menyerang itu. 

Ternyata belum cukup sampai di situ.  Di tengah tengah kepulan debu, melesat keluar api berwarna kebiruan mengarah langsung kepada para penyerang.  Naga itu menyemburkan api!  Kontan saja para tokoh itu serabutan mencoba menyelamatkan diri.  Semburan api biru tidak mengenai tubuh para penyerang.  Tapi menghajar batu besar di belakang mereka.  Terdengar ledakan yang sangat keras saat batu itu hancur berkeping keping.

Kini para tokoh itu lebih berhati hati lagi sebelum menyerang kembali.  Apalagi ternyata tokoh tokoh seperti Tiga Pendekar Malaikat, Ki Mangkubumi dan Arawinda yang sebelumnya berada di sisi kawah sebelah timur, kini telah berlari mendekat.  Disusul oleh tokoh tokoh lain seperti rombongan Raja Iblis Nusakambangan, Lima Kobra Benggala, rombongan Maesa Amuk, Ki Biantara, Ardi Brata, Sumowongso dan Si Kumbang Hitam.

Naga raksasa itu dikepung dari berbagai arah oleh tokoh tokoh hebat dunia persilatan.  Hanya Datuk Rajo Bumi dan Panglima Kelelawar yang masih berdiri di tempatnya semula.  Belum bergeser dan hanya mengamati.  Arya Dahana, Dyah Puspita, Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya juga mulai mendekat namun masih di belakang para tokoh yang melakukan pengepungan.

Melihat dirinya dikepung secara ketat, Naga Merapi menegakkan tubuhnya seperti ular kobra.  Tubuh raksasanya menjulang tinggi.  Kepalanya yang ditempati oleh Mustika Api kini jauh dari jangkauan.  Naga ini terlihat sama sekali tidak takut.  Dengus dan geramannya menjadi jadi.  Dari hidungnya yang lebar keluar asap tebal berwarna hitam.  Naga Merapi sedang bersiap siap dan sedang marah besar.

Para tokoh tingkat tinggi dunia persilatan itu tidak ada yang bergerak sama sekali.  Mereka waspada terhadap serangan Naga sekaligus juga berhati hati terhadap serangan tokoh lain di sekitarnya.  Suasana hening dipecahkan oleh sebuah teriakan keras.  Dua sosok bayangan berkelebat luar biasa cepat menuju kepala Sang Naga.  Datuk Rajo Bumi dan Panglima Kelelawar berlomba mengambil mustika api. 

Tingkat ilmu meringankan tubuh dua datuk ini sangatlah tinggi.  Keduanya mampu untuk melompat tinggi dan menjangkau mustika di kepala Naga.  

Sang Naga tidak tinggal diam.  Rupanya mahkluk raksasa itu sadar bahwa yang menyerangnya kali ini adalah tokoh tokoh yang luar biasa hebat.  Dari mulut naga itu keluar sebongkah besar semburan api kebiruan mengarah kepada Datuk Rajo Bumi.  Sedangkan cakarnya yang besar dikibaskan ke arah Panglima Kelelawar, melesatkan puluhan duri duri kecil beracun mematikan.

Kedua datuk sakti ini berkelebatan menghindar.  Serangan Sang Naga amat dahsyat.  Panas api berwarna kebiruan  dari mulut Sang Naga setara dengan kedahsyatan panas lava gunung berapi.  Sedangkan duri duri kecil beracun yang keluar dari cakar Sang Naga mengandung bisa yang kadarnya ratusan kali lebih mematikan dibanding racun ular kobra paling berbisa di dunia.

Melihat upayanya tidak membuahkan hasil, Datuk Rajo Bumi mengulang lagi dengan cara menyerang tubuh Sang Naga dengan mengerahkan ilmu pukulannya yang paling dahsyat.  Harapannya agar Sang Naga menghindar atau terluka dan menundukkan kepala agar dia bisa dengan mudah menyambar mustika di kepalanya.  

Dugaannya benar.  Begitu pukulan saktinya mengenai tubuh Sang Naga, naga itu memekik keras kesakitan.  Pukulan sakti itu memang tidak melukai tubuhnya, namun cukup memberikan akibat yang menyakitkan.  Sang Naga meliukkan tubuhnya ke bawah, kepalanya menunduk mencoba menyambar Datuk Rajo Bumi, rupanya Sang Naga berniat menelan hidup hidup Sang Datuk.

Pada saat itulah, sosok Panglima Kelelawar melesat ke arah kepala Sang Naga.  Raja Lawa Agung ini melihat kesempatan merebut Mustika Api ketika Sang Naga sibuk menyerang Datuk Rajo Bumi.  Tinggal sepersekian jeda tangan Panglima Kelelawar menjangkau Mustika Api, tangan kurus Datuk Rajo Bumi menepis tangan itu dengan pukulan dahsyat.  Panglima Kelelawar yang marah setelah tadi hampir berhasil mengambil Mustika Api, langsung saja balas menyerang dengan hebat.  Terjadilah pertempuran antara dua tokoh hebat ini. 

Raja Iblis Nusakambangan, Resi Amamba dan hulubalang pengawal Panglima Kelelawar tidak tinggal diam.  Tujuh orang ini terjun ke dalam pertempuran membantu rajanya menyerang Datuk Rajo Bumi.  Terang saja Datuk Rajo Bumi kewalahan. Bertempur satu lawan satu dengan Panglima Kelelawar belum tentu dia menang.  Apalagi sekarang Sang Panglima dibantu oleh tokoh tokoh yang sangat lihai.  Namun Datuk ini bernafas lega ketika dilihatnya Raja Iblis Nusakambangan diserang oleh Sumowongso dan Resi Amamba dihadapi oleh Si Kumbang Hitam. 

Tentu saja Si Kumbang Hitam tidak bisa tinggal diam melihat paman gurunya diserang.  Ya, Datuk Rajo Bumi adalah adik seperguruan dari guru Si Kumbang Hitam.  Sedangkan Sumowongso terang saja membantu Si Kumbang Hitam yang merupakan sekutu dekatnya.  Pertempuran pecah menjadi tiga bagian.  Datuk Rajo Bumi menghadapi Panglima Kelelawar yang dibantu oleh para pengawalnya.  Sumowongso melawan Raja Iblis Nusakambangan, dan Si Kumbang Hitam menghadapi Resi Amamba.

Melihat tokoh tokoh itu bertempur sendiri satu sama lain, Ki Gularma mencoba peruntungannya dengan menyambar Mustika Api di kepala Sang Naga yang masih belum menegakkan kepalanya.  Namun usahanya gagal karena Ki Biantara menahannya.  Tokoh pasundan ini menggerung marah dan balas menyerang Pendekar Pena Menawan dengan hebat. 

Lima Kobra Benggala yang melihat kesempatan baik, menerjang ke depan menyerang Sang Naga.  Empat orang melancarkan serangan bertubi tubi ke arah Sang Naga, sedangkan satu orang hanya melompat kesana kemari, menunggu kesempatan mengambil mustika api dari kepala Sang Naga.

Rupanya taktik ini diketahui oleh Tiga Pendekar Malaikat.  Tiga pendekar hebat dari negeri Cina ini kontan langsung menyerang Lima Kobra Benggala. 

Kembali Sang Naga terabaikan.  Tapi itu tidak berlangsung lama.  Kali ini yang mencoba peruntungan adalah  Putri Anjani.  Gadis itu melompat tinggi mencoba menyambar mustika api di kelapa Sang Naga.  Lagi lagi ada orang yang mencegah upaya ini.  Maesa Amuk menyerang Putri Anjani untuk mencegah gadis itu mengambil mustika api.  

Melihat gadis itu diserang dengan hebat, Andika Sinatria tidak terima.  Dia tahu bahwa mereka ini adalah tokoh tokoh Majapahit yang tangguh. Pemuda ini maju ke depan berniat membantu Putri Anjani.  Namun langkahnya ditahan oleh serangan ganas Siluman Lembah Muria yang dibantu oleh Bledug Awu Awu.  

Dewi Mulia Ratri tahu bahwa Bledug Awu Awu adalah seorang tokoh sihir hebat Majapahit.  Dia tidak ingin Andika Sinatria celaka terkena serangan sihir.  gadis ini langsung menerjunkan diri ke pertempuran dengan membantu Andika Sinatria.

Sang Naga terlihat agak kebingungan sekarang.  Semua orang saling serang sendiri.  Bimala Calya melihat kesempatan baik.  Inilah saatnya mendapatkan mustika api untuk Arya Dahana.  Gadis ini menyerbu ke depan mencoba mengambil mustika dari kepala Sang Naga.  Kali ini yang mencegahnya adalah murid Ki Biantara.  

Dari tadi sejak sebelum pertempuran dimulai, Ki Biantara mewanti wanti Ardi Brata untuk mencegah siapapun dari tokoh golongan hitam agar tidak satupun yang berhasil mengambil mustika api.  Ki Biantara tadi sempat mengatakan bahwa Bimala Calya adalah anak angkat Panglima Kelelawar.  

Ardi Brata menganggap gadis ini adalah salah satu dari golongan hitam yang harus dicegah.  Karena itu pendekar tampan ini tidak ragu ragu untuk menyerang Bimala Calya saat gadis ini mulai bergerak ke arah Sang Naga.

Pertempuran pecah di mana mana.  Saking sengitnya, tidak ada satupun yang mencoba coba lagi mengambil Mustika Api  dari Sang Naga.  Dyah Puspita berbisik kepada Arya Dahana.

"Arya, ini kesempatan kita....ayo kita maju bersama sama.  Ingat baik baik apa yang sudah kita lakukan melawan ular besar di Gunung Raung dulu?....nah lakukan hal yang sama sekarang..."

Arya Dahana memandang Dyah Puspita yang bersinar sinar wajahnya saat mengatakan itu.  Sinar wajah yang sangat aneh.  Bersemangat namun sekaligus putus asa.  Gembira sekaligus sedih.  Pemuda ini tidak mengerti arti dari sinar muka yang aneh itu, tapi dia mengangguk mengiyakan.

Keduanya kemudian mengambil posisi masing masing.  Sebelah kanan dan kiri naga raksasa itu.  Sang Naga yang melihat dua orang muda sedang mencoba mengepungnya  menggeram marah.  Naga ini melihat  bahwa lokasi ini semakin sempit dan tidak akan leluasa untuk menyerang saking banyaknya orang yang sedang bertempur.  Sang Naga meliukkan tubuhnya dengan cepat ke arah bawah puncak gunung.  Dyah Puspita dan Arya Dahana mengejar Sang Naga yang dikira oleh mereka sedang melarikan diri. 

Sepasang muda mudi itu kecele, karena tiba tiba Sang Naga berbalik dan menyerang mereka berdua dengan semburan api sekaligus melepas duri duri beracun dan bahkan mengibas menggunakan ekor berdurinya yang dahsyat.

Keduanya berhasil menghindari serangan beruntun ekor dan semburan api Sang Naga.  Dyah Puspita terdengar memekik kecil. Arya Dahana terperanjat.

"Puspa...kau tidak apa apa?" teriak pemuda itu khawatir dari sisi lain tubuh Sang Naga.

Dyah Puspita mengerenyit kesakitan. Dicabutnya dua duri yang menancap di bahu dan lengan kirinya.  Tubuhnya mengejang sesaat.  Namun semangat yang luar biasa dahsyat sedang menguasai hati gadis cantik ini.  Dikerahkannya semua hawa murni dalam tubuhnya untuk menahan rasa sakit teramat sangat akibat mulai menjalarnya racun maut duri Sang Naga.

"Terus Arya..! aku tidak apa apa...ikuti aba abaku!...uuughh..."

Pemuda itu menarik nafas lega.  Dia tidak tahu kondisi Dyah Puspita yang sedang kesakitan hebat karena terhalang tubuh raksasa Sang Naga.  Dia berteriak menyahut iya.

"Arya...hitung tujuh belas langkah ke depan sambil hindari serangan!"  Dyah Puspita memulai aba abanya.  Sama persis seperti saat dulu mereka melawan ular raksasa di Gunung Raung.

Arya Dahana teringat dan menuruti perintah Dyah Puspita.  Keduanya berhasil melangkah 17 kali ke depan.  Mereka tiba berseberangan di perut Sang Naga.

"Arya...hitung delapan kali lompatan ke samping arah kepala!... uugghh...!" Dyah Puspita mengeluarkan aba aba lagi dengan wajah mulai kebiruan.  

Kembali pemuda itu mengikuti.  Persis juga sama seperti dulu, Sang Naga tidak bisa serta merta menggeser tubuh raksasanya sehingga keduanya dengan cukup mudah melakukan lompatan tersebut.  Sepasang muda mudi tetap dalam posisi berseberangan namun kali ini sejajar dengan kepala Sang Naga.  

Sang Naga berusaha bergeser dan menyerang dengan menggunakan mulutnya.  Namun keduanya mengikuti sehingga tetap dalam posisi sangat dekat dengan kepala Sang Naga.  Kali ini Sang Naga berusaha menghindar dengan kembali menegakkan tubuhnya sehingga kepalanya menjulang tinggi kembali. 

Dyah Puspita yang sudah sangat kepayahan berteriak kepada Arya Dahana," Arya...em..empat puluh... li...lima kali jungkir balik!  Ka...kau yang hi..hitung...ya....!"

Arya Dahana mengerutkan keningnya mendengar suara terpatah patah Dyah Puspita.  Tapi dia tidak sempat berpikir panjang karena situasi sangat genting sekarang, pemuda itupun menyahut keras," satu....dua....tiga!"

Dua tubuh itu melesat ke atas dalam posisi jungkir balik berkali kali.  Tumpuannya adalah sisik keras dan leher Naga yang sedang kebingungan itu. Pada hitungan ke empat puluh lima mereka menghentikan jungkir baliknya dan sampailah mereka di....kepala naga.

Tepat saat mereka mendarat di kepala Sang Naga, Dyah Puspita terkulai lemas dan hampir saja terjatuh jika saja Arya Dahana tidak cepat cepat menangkap tubuhnya.  Gadis perkasa ini sebelum jatuh terkulai sempat mencabut mustika api di kepala Sang Naga. 

Arya Dahana terperanjat bukan main melihat keadaan Dyah Puspita yang sangat mengkhawatirkan.  Tubuhnya kejang kejang dengan wajah membiru. Sambil mengerahkan tenaganya yang terakhir, Dyah Puspita meraih kepala Arya Dahana, membuka mulutnya dan memasukkan mustika api ke dalamnya lalu menekan leher pemuda itu agar batu kecil bercahaya itu masuk tertelan.

Arya Dahana gelagapan dan hampir tersedak.  Tak urung batu kecil itu telah tertelan olehnya.  Pemuda itu sama sekali tidak bisa berpikir yang lain. Sambil menggendong tubuh Dyah Puspita yang sudah sepenuhnya lemas, dia melompat turun dari kepala Sang Naga.  

Sang Naga hanya berdiam diri saat sepasang muda mudi yang telah berhasil merebut mustika di kepalanya terjun ke bawah.  Naga raksasa itu malah menggeser tubuhnya menjauh, melayang ke udara sejenak, lalu terjun masuk kembali ke dalam kawah Merapi.  Rupanya legenda itu benar.  Begitu mustika tercabut dari kepalanya, Sang Naga akan reda kemarahannya dan masuk lagi ke peraduannya di perut Merapi.

Semua pertempuran serentak terhenti ketika semua orang mendengar suara lengkingan terakhir Sang Naga sebelum terjun ke dalam kawah Merapi. Tidak ada satupun yang mengetahui bahwa mustika itu telah berhasil diambil oleh Dyah Puspita dan ditelan oleh Arya Dahana.

Arya Dahana membaringkan tubuh Dyah Puspita di pangkuannya.  Tubuh gadis itu sangat lemas tanpa daya sama sekali.  Dirabanya pergelangan tangan gadis itu.  Detak nadinya sangat sangat lemah hampir tidak terasa sama sekali.  Dewi Mulia Ratri, Bimala Calya, Andika Sinatria dan Putri Anjani telah berada di samping Arya Dahana.  Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya ikut berjongkok memeriksa keadaan Dyah Puspita. 

Kedua wajah gadis yang dalam beberapa hari terakhir bersama sama terus dengan Dyah Puspita ini pucat pasi.  Airmata mulai mengalir turun dari sepasang mata keduanya.

"Ar...Ar...Arya...men...dekatlah...ke...sini...sa...sayang.." suara lirih terbata bata Dyah Puspita memanggil Arya Dahana yang masih memangkunya namun diam seperti arca.

Arya Dahana seperti terkena aliran petir.  Pemuda itu menundukkan wajahnya mendekati bibir cantik yang membiru itu.  Sambil menahan jatuhnya airmata di matanya yang berkaca kaca, pemuda itu bergumam lirih.

"Puspa...kau korbankan semua untukku...aku tidak mau berterimakasih karena ini harus ditukar dengan nyawamu... aku tidak rela...aku lebih rela jika aku saja yang mati...bukan kau....uuuhhh," meneteslah dua butir air mata pemuda itu,  airmata yang membasahi bibir Dyah Puspita.  

Gadis yang menjelang ajal itu mencoba sekuatnya untuk tersenyum manis.  Diangkatnya tangan sekuatnya membelai pipi pucat pemuda yang dicintainya ini.

"Ak...aku...ba...hagia..Arya...sa..yang...aku..te..lah...me..nuntaskan..jan..jiku...ke..pada men...diang ayah..mu..."

Gadis itu melanjutkan ucapannya dengan susah payah.  Sepertinya Dyah Puspita mengerahkan seluruh tenaga terakhirnya.  Suaranya tidak lagi terpatah patah...

"Aku juga bahagia...telah menuntaskan janji cintaku...padamu...kuburkan aku di bibir gua Danu Cayapata...tempat aku pernah menciummu penuh...cin..ta..." bersamaan dengan kata cinta yang diucapkannya dengan penuh perasaan, leher gadis itu terkulai.  Sanghyang Widhi telah mengambil salah satu ciptaan terbaiknya hari ini.

Arya Dahana memandangi wajah gadis ayu yang telah menyelamatkan hidupnya berkali kali itu dengan wajah pilu.  Meskipun airmatanya membanjir tak henti henti, tidak ada sedikitpun suara keluar dari mulut pemuda yang sedang terguncang hebat itu.  Diciumnya wajah yang masih hangat namun tak bernyawa lagi itu dengan sepenuh hati.  Didekapnya kepala mendiang Dyah Puspita di dadanya lama lama dengan mata memandang kosong ke depan.  Rasa kehilangan yang sangat besar terlihat sekali di mata pemuda yang terlihat layu itu.

Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya menjerit keras.  Keduanya berpelukan sambil menangis sesenggukan.  Suasana haru dan mencekam menyelimuti. Bulan di atas juga terlihat murung.  Ditutupi oleh mendung tebal yang menutupi wajah bulatnya sebagian.  Bulan itu ikut menangis.  Hujan rintik rintik jatuh membasahi puncak Merapi.

Arya Dahana tetap duduk memangku tubuh dingin Dyah Puspita.  Matanya terbuka namun hampa.  Airmata yang membanjir di pipinya kini bercampur dengan air hujan.  Menjadikannya hujan airmata sebab sebuah kehilangan yang luar biasa besar.  Dewi Mulia Ratri yang masih menangis mendekati pemuda itu dan memandang wajahnya dengan haru.  Diusapnya airmata di pipi si pemuda dengan punggung tangannya. 

Arya Dahana seperti tersadar dari mimpi buruk.  Dia berdiri sambil menggendong tubuh kaku itu.  Mulutnya bergumam sedikit kata.

"Seharusnya..dia..tidak terpengaruh racun...sekuat apapun...dia mempunyai Batu Safir Bumi.."

Bimala Calya mendekat.  Wajahnya basah semua oleh airmata.  Suaranya mengandung isak yang sangat dalam.

"Apakah yang kau maksud ini Arya...?" gadis itu mengeluarkan sebuah kalung dari lehernya. Kalung yang bermata Safir Bumi.  Arya Dahana dengan hampa mengangguk lemah.

Bimala Calya semakin terisak sekarang.

"Dia...dia...memberikan...kalung ini kepadaku tadi pagi....dia..ingin kalung ini melindungiku...melindungi...seorang anak...yang tak beribu bapa....aaahhh.." Bimala Calya terguling pingsan.  Namun sebelum tubuh gadis itu jatuh ke tanah, sepasang tangan dengan lembut menangkap tubuhnya.  

Sepasang tangan Ardi Brata.  Dewi Mulia Ratri melihat Bimala Calya pingsan kembali hanyut dalam keharuan.  Gadis ini menjerit sejadi jadinya. Andika Sinatria maju memeluk tubuhnya untuk menenangkan hatinya.

Arya Dahana menatap sekeliling.  Masih dengan tatapan kosong dan hampa.  Suaranya ditujukan kepada Ardi Brata.

"Pendekar, aku titipkan Bimala Calya kepadamu...dia gadis yang baik...lindungilah dia selama aku tidak ada.."

Ardi Brata mengangguk mantap mengiyakan.

Arya Dahana memutar tubuhnya menghadap Dewi Mulia Ratri yang masih terisak isak di pelukan Andika Sinatria.  Pemuda itu meraih sesuatu di kantong bajunya.

"Ratri...aku mungkin akan pergi agak lama untuk menguburkan Puspa...mungkin juga selamanya...terimalah ini...sesuai janji...saputanganmu yang kau pinjamkan tempo hari..."

Dewi Mulia Ratri semakin keras menangis.  Diraihnya saputangan itu dari tangan Arya Dahana.  Gadis itu hendak melangkah maju untuk memeluk Arya Dahana.  Namun sepasang tangan kuat Andika Sinatria menahan si gadis tetap dalam pelukannya.  

Dewi Mulia Ratri tidak sanggup melawan dekapan itu.  Tubuhnya sama sekali lemas tak bertenaga dihantam haru yang bertubi tubi tadi.  Dia hanya sanggup memandang mata Arya Dahana yang masih hampa.  Namun sedikit berkilat saat dia tadi ditarik dalam pelukan Andika Sinatria.

Arya Dahana memandang langit, bulan, lalu kawah Merapi.  Tanpa bersuara lagi tubuh pemuda itu melesat lenyap dari pandangan sambil menggendong tubuh lemas Dyah Puspita.  Suara petir menggelegar mengiringi kepergian pemuda yang sedang sangat kehilangan itu.

**********
Bersambung Bab XI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun