Minggu,12 Oktober 2025
Milawati Umsupyat
Di gerbang kota, kutinggalkan debu kampung halaman,
Bukan tanpa air mata, bukan tanpa getar di hati.
Satu tas usang, berisi mimpi dan bekal pesan,
Dari Ibu dan Ayah, yang menanti di batas hari.
Langkah pertama, terasa asing dan berat,
Di bawah langit baru, yang janji-janji mengikat.
Aku adalah penjelajah, yang mencari makna di balik penat,
Menyulam asa dari benang tipis takdir.
Di sini, gedung-gedung menjulang dingin dan padat,
Memelukku dengan kesibukan yang terus mengalir.
Tak ada lagi sapa ramah tetangga di pagi hari,
Hanya tatapan cepat, dan hiruk pikuk tak bertepi.
Kos kecil ini, saksi bisu setiap sepi,
Dindingnya menyimpan keluh, bantalnya menyerap tangis.
Mie instan dan teh manis, menu setia yang menemani,
Saat bulan sabit menggantung, menertawakan kemiskinan manis.
Pernah jatuh, pernah sakit, tanpa tangan yang menggenggam,
Hanya doa yang kurapal, dalam gelap yang mencekam.
Rindu. Ah, rindu itu belati bermata dua,
Menghujam sukma, namun juga pemicu semangat.
Teringat suara Ibu, "Jangan pernah menyerah, Nak!"
Teringat senyum Ayah, yang tak lekang oleh waktu sesaat.
Mereka di sana, menjaga lilin harapan tetap menyala,
Menghitung hari, menanti kabar baik yang kubawa.
Pagi menyingsing, kutinggalkan selimut lelah,
Menjadi bagian dari roda kota yang tak pernah berhenti.
Keringat menetes, demi selembar rupiah yang payah,
Di bawah terik mentari atau hujan yang membasahi sepi.
Aku belajar keras, bahwa hidup tak seindah cerita,
Bahwa berjuang adalah harga mati sebuah cita-cita.
Kadang, terbersit tanya, "Mampukah aku kembali?"
Dengan kepala tegak, membawa mahkota yang mereka impikan.
Namun, keraguan itu cepat kusingkirkan,
Sebab aku tahu, aku tak boleh pulang dengan tangan hampa, sebelum kemenangan.
Di tanah rantau ini, aku ditempa dan dibentuk,
Menjadi baja yang kuat, meski sempat remuk.
Wahai malam, sampaikan salamku pada bintang di desa,
Katakan, anakmu di sini, sedang menahan segala rasa.
Kelak, akan kupeluk erat segala penantian dan air mata,
Saat waktu berpihak, dan mimpi telah menjadi nyata.
Untuk kini, biarlah aku terus menari di atas duri,
Sebab, setiap langkah menjauh, adalah satu langkah mendekati kembali.
Anak rantau ini, kini tak lagi sendiri,
Dia punya tekad, dan janji yang harus ditepati.
Menyimpan rindu dalam dada, sebagai sumber energi,
Menuju hari esok, di mana ia akan pulang membawa arti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI