Teringat senyum Ayah, yang tak lekang oleh waktu sesaat.
Mereka di sana, menjaga lilin harapan tetap menyala,
Menghitung hari, menanti kabar baik yang kubawa.
Pagi menyingsing, kutinggalkan selimut lelah,
Menjadi bagian dari roda kota yang tak pernah berhenti.
Keringat menetes, demi selembar rupiah yang payah,
Di bawah terik mentari atau hujan yang membasahi sepi.
Aku belajar keras, bahwa hidup tak seindah cerita,
Bahwa berjuang adalah harga mati sebuah cita-cita.
Kadang, terbersit tanya, "Mampukah aku kembali?"
Dengan kepala tegak, membawa mahkota yang mereka impikan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!