Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerbung | Kemarau Sang Perawan (Part 1)

31 Januari 2020   12:03 Diperbarui: 4 Februari 2020   18:52 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Collage of pixabay

Kemarau memasuki puncaknya bulan Desember. Hari belum terlalu siang tapi  sinar matahari terasa menyengat kulit Prasetyo. Inikah dampak dari pemanasan global? Seingatnya sebelum ia kuliah di Kota Bengawan, suhu udara tak begitu panas. 

Hampir lima tahun ia meninggalkan kampung halaman. Selama itu pula ia jarang menyempatkan menghirup udara di desa. Dalam setahun ia hanya pulang tak lebih lima kali.

Sudah menjadi kebiasaan saat pulang dari Solo, Prasetyo memilih jalan kaki melewati pematang sawah menuju rumahnya. Ia tak mau merepotkan ayahnya untuk menjemput di Stasiun Jambon, sebuah stasiun kecil di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah.

Stasiun  Jambon menjadi pemberhentian kereta api kelas yekonomi dan bisnis dari Jakarta-Semarang-Cepu-Surabaya. Pras juga enggan  naik ojek karena harus mengelilingi jalan raya pedesaan.

Pras mengedarkan pandangan ke arah selatan. Tampak bukit Sigit di kawasan hutan Pegunungan Kendeng Selatan. Beberapa tahun lalu hutan itu masih menyimpan kekayaan alam berupa kayu jati dan mahoni berkualitas tinggi.  

Sekarang hutan itu gundul, yang tersisa hanya bekas cukuran para blandong atau pembalak liar. Tapi yang ia dengar dari lik Joyo, tetangganya yang "terpaksa" memilih pekerjaan sebagai pembalak liar, pembalakan besar-besaran justru dilakukan para oknum mandor penjaga hutan. 

Mungkin karena gaji mereka terlalu kecil atau memang mereka punya bakat seperti kebanyakan pejabat Indonesia : korupsi. 

Kata lik Joyo ia bekerjasama dengan para mandor, membayar uang setiap pohon yang ditebang. Bahkan Joyo  sering hanya diupah sebagai kuli pikul, lalu balok kayu itu disimpan di gudang milik oknum mandor.

Melewati pematang sawah, sesuatu yang menyenangkan bagi Pras adalah ketika ia disapa para petani, para tetangganya. Mereka sibuk mempersiapkan lahan untuk ditanami jagung, kedelai atau kacang hijau. Tentu  berharap hujan segera turun dan kemarau segera berakhir.

Ia menyempatkan mampir ke gubug Mbah Hadi, tetangga dekatnya yang sudah menduda hampir 7 tahun. Istrinya meninggal karena sakit. Kata dokter, tak ada obatnya. Mungkin karena Mbah Hadi tak bisa membayar administrasi rumah sakit hingga akhirnya sang istri dibawa pulang dan meninggal sehari kemudian.

Gubug sederhana itu dibuat waktu musim tanam padi. Kemarau menelantarkan sawah hingga kering kerontang. Tanahnya retak-retak. Tetapi gubug tersebut masih dipertahankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun