Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Ranjang Tanah

17 Januari 2020   13:16 Diperbarui: 17 Januari 2020   16:44 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : expres.co.uk

Kapan Leksono mau melamarmu?" kata Subagyo, ayah Anggita. Anggita terdiam mendapat pertanyaan dari ayahnya. Beliau sering menanyakan kesiapan Leksono untuk segera menyunting Anggita. 

Menikah bukan sesuatu yang mudah bagi Anggita. Ia menyadari ayahnya seperti ingin mengingatkan kalau ia tak ingin anaknya dicap sebagai perawan tua. Usianya belum genap 30 tahun. Tentu Gita merasa masih muda. Menikah bukan urusan usia. Butuh beragam mukjizat untuk menyadari bahwa seseorang harus rela melepas kelajangan lalu menikah. Tak mudah bagi wanita memutuskan, pantaskah seorang lelaki dijadikan suami atau hanya pantas pada tataran dijadikan pacar. 

Apa ia salah memilih untuk tak terburu menikah dan lebih memilih untuk mematangkan karir?. Saat itu Anggita seperti tak ada kekuatan untuk menuntun ke kantor. Ia bekerja di sebuah rumah sakit sebagai perawat. Dulu sewaktu Gita selesai mendapat ijasah D3 keperawatan, ayahnya sudah mewantinya untuk segera menikah. Tentu ia tak mungkin meloloskan keinginan ayahnya. Ia sudah terikat dengan kontrak dengan rumah sakit yang menyaratkan sebagai perawat ia tidak boleh menikah selama kurun 3 tahun di awal bekerja. 

Ia tak bisa menebak kemauan ayahnya. Tiga tahun itu terasa singkat dan ketika ayahnya menanyakan kembali, Anggita tak bisa memberi jawaban. Tahun demi tahun berlalu hingga ayahnya sudah tak bisa lebih lama lagi menyimpan keinginan anaknya untuk menikah. 

"Aku ingin melihat kamu dan Leksono menikah di hadapanku sebelum aku meninggal."

"Sabar ta pak, tentu kami nanti menikah di hadapan bapak. Karena bapak adalah waliku". 

Kegusarannya ia kabarkan kepada Leksono. "Disuruh nikah kok ra gelem. Kalau kamu siap. Hari ini kita nikah."

"Idih. Maunya."

***** 

Nasib berat dipikul oleh Kiai Badrun. Baru kali ini penghulu itu diminta menikahkan pasangan di areal pemakaman. Dan yang paling terberat ia diminta untuk menikahkan pasangan yang sudah meninggal. Dulu ia pernah menikahkan sepasang pengantin di depan jenazah orang tuanya. Itu hal terberat yang pernah dialaminya. Bagaimana mungkin suasana lelayu digabungkan dengan pernikahan yang seharusnya menjadi hari sakral dan hari bahagia bagi pengantin. Sesuai adat Jawa memang ketika seorang pasangan ingin menggelar pernikahan pada hari yang sudah ditentukan lalu salah satu orang tuanya meninggal maka ia harus dinikahkan di depan jenazah orang tuanya. Tentu itu tak akan menjadi masalah karena ia menikahkan manusia yang masih doyan nasi. Tapi pernikahan yang satu ini. Menikahkan mayat. Sebuah pencapaian sejarah tertinggi dalam karir kepenghuluannya. 

Kiai Badrun membuka peti jenazah, seakan ingin memastikan kalau keduanya memang benar-benar mati. Lama ia memandang wajah keduanya, sepasang mayat yang berhimpitan. Ini adalah bukti "Cinta Sampai Mati" tak hanya ada dalam omongan gombal para lelaki pemangsa wanita. Kali ini ia benar-benar menyaksikannya. Semakin ia menatap wajah keduanya ia semakin ragu untuk mensahkan pernikahan keduanya seandainya Badrun benar-benar mengucapkan akad pernikahan. Badrun duduk berjongkok di bawah pohon kamboja. Tangannya mengepal tanah basah menjadi bulatan. Ia mendekati keranda sembari melempar tanah bulatan itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun