Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Ranjang Tanah

17 Januari 2020   13:16 Diperbarui: 17 Januari 2020   16:44 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : expres.co.uk

Senja yang terapung mega mengapit perkabungan di sebuah pemakaman. Serangkain putik bunga kamboja bertaburan, menjatuh mesra di tanah liat yang masih basah . Janur kuning menjadi penghias di gapura pemakaman. Sedang para gadis yang menjadi pagar ayu*) berpakaian serba hitam berjejer di jalan masuk bersiap menerima tamu sekaligus para pelayat. 

Para gadis cantik itu tampak sayu. Tak tampak wajah ayunya. Sesekali diusapkan tisu putih yang akhirnya menjadi hitam, menampung kesedihan sekaligus warna kosmetik yang memudar terzalimi air mata. Tepat di arah timur laut, liang di tanah pekuburan bersiap mengasuh keranda berisi sepasang kekasih yang meninggal sesaat sebelum azan zuhur mendengung. 

Raut kesedihan menumpuk di wajah Widyawati. Tanah pemakaman suaminya, Subagyo, benar-benar belum kering. Tiga jam yang lalu suaminya selesai dimakamkan, usia tua telah mencerabut hidup suaminya. Begitu rombongan pengantar jenazah dan kerabat sampai di rumah duka, mereka dikejutkan dengan teriakan Setyorini, adik kandungnya. 

"Gita, Mbak Watik. Anggita dan Leksono..." Rini mendapati Anggita dan Leksono terbaring di ruang tengah. Rini awalnya mengira keponakan dan kekasihnya itu hanya tidur kelelahan karena malam hingga paginya mereka sibuk mempersiapkan prosesi pemakaman. Watik meraba denyut nadi keduanya lalu mengecek pernafasan dengan meletakkan jari di hidung. Watik tak percaya, anak dan calon menantunya telah menyusul suaminya. Ia menerawang sekeliling, mengamati benda di sekitar yang sekiranya menjadi penyebab kematian keduanya. Ia tak menemu benda atau obat-obatan yang bisa menjadi alasan keduanya meninggal. Tim forensik rumah sakit didatangkan oleh pihak kepolisian. Mereka mengabarkan fakta bahwa tak ada tanda-tanda bunuh diri, keracunan atau tindak kekerasan. Semua murni kematian. Tapi entah kematian karena apa mereka tak bisa menjelaskan. Tak ada sesuatu yang janggal tapi menurut Widyawati itu sebuah ketidakwajaran, lebih tepatnya keganjilan. 

Pagi tadi mereka masih membacakan yasin di depan jenazah suaminya. Mereka juga mulasara mayit**). Ikut memandikan jenasah suaminya, mengamati detik demi detik ketika kafan dijadikan jubah kebesaran. Mereka juga ikut menyalati. 

Anggita dan Leksono juga memberi salam terakhir kepada sang ayah dengan ikut brobosan ***). Saat peti mati dibawa keluar menuju halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah disalatkan, 

Anggita tak bisa menahan tangisnya. Ia sejak tadi malam sudah berusaha menyembunyikan air mata. Widyawati brobos, berjalan di bawah peti mati pertama diikuti anak dan keluarganya yang mengikuti dari belakang. Mereka mbrobos selama tiga putaran mengikuti arah putaran jam. 

Setelah ritual tersebut Anggita dan Leksono tak ikut mengantarkan jenazah ke pemakaman. Mereka memilih untuk berdiam di rumah. Polisi hanya menemukan sebuah handphone di saku celana Anggita. Widyawati yang akrab dipanggil Watik mengecek HP itu. Sebuah pesan dikirim ke nomornya dan satu pesan lagi ke nomer hp suaminya. Dua handphone yang sengaja ia tinggal di rumah, ketika mengikuti proses pemakaman. 

Ke Watik Gita mengirim pesan " Ibuk, Jk kami jdi mati, Nikahkan kami d dpn mkm Bpk. kubur kami d liang lahat yg sma."

Ke nomer ayahnya yang sudah meninggal Anggita menulis " Bapak, ingin kutepati janjiku menikah di hadapanmu."   

***** 

Kapan Leksono mau melamarmu?" kata Subagyo, ayah Anggita. Anggita terdiam mendapat pertanyaan dari ayahnya. Beliau sering menanyakan kesiapan Leksono untuk segera menyunting Anggita. 

Menikah bukan sesuatu yang mudah bagi Anggita. Ia menyadari ayahnya seperti ingin mengingatkan kalau ia tak ingin anaknya dicap sebagai perawan tua. Usianya belum genap 30 tahun. Tentu Gita merasa masih muda. Menikah bukan urusan usia. Butuh beragam mukjizat untuk menyadari bahwa seseorang harus rela melepas kelajangan lalu menikah. Tak mudah bagi wanita memutuskan, pantaskah seorang lelaki dijadikan suami atau hanya pantas pada tataran dijadikan pacar. 

Apa ia salah memilih untuk tak terburu menikah dan lebih memilih untuk mematangkan karir?. Saat itu Anggita seperti tak ada kekuatan untuk menuntun ke kantor. Ia bekerja di sebuah rumah sakit sebagai perawat. Dulu sewaktu Gita selesai mendapat ijasah D3 keperawatan, ayahnya sudah mewantinya untuk segera menikah. Tentu ia tak mungkin meloloskan keinginan ayahnya. Ia sudah terikat dengan kontrak dengan rumah sakit yang menyaratkan sebagai perawat ia tidak boleh menikah selama kurun 3 tahun di awal bekerja. 

Ia tak bisa menebak kemauan ayahnya. Tiga tahun itu terasa singkat dan ketika ayahnya menanyakan kembali, Anggita tak bisa memberi jawaban. Tahun demi tahun berlalu hingga ayahnya sudah tak bisa lebih lama lagi menyimpan keinginan anaknya untuk menikah. 

"Aku ingin melihat kamu dan Leksono menikah di hadapanku sebelum aku meninggal."

"Sabar ta pak, tentu kami nanti menikah di hadapan bapak. Karena bapak adalah waliku". 

Kegusarannya ia kabarkan kepada Leksono. "Disuruh nikah kok ra gelem. Kalau kamu siap. Hari ini kita nikah."

"Idih. Maunya."

***** 

Nasib berat dipikul oleh Kiai Badrun. Baru kali ini penghulu itu diminta menikahkan pasangan di areal pemakaman. Dan yang paling terberat ia diminta untuk menikahkan pasangan yang sudah meninggal. Dulu ia pernah menikahkan sepasang pengantin di depan jenazah orang tuanya. Itu hal terberat yang pernah dialaminya. Bagaimana mungkin suasana lelayu digabungkan dengan pernikahan yang seharusnya menjadi hari sakral dan hari bahagia bagi pengantin. Sesuai adat Jawa memang ketika seorang pasangan ingin menggelar pernikahan pada hari yang sudah ditentukan lalu salah satu orang tuanya meninggal maka ia harus dinikahkan di depan jenazah orang tuanya. Tentu itu tak akan menjadi masalah karena ia menikahkan manusia yang masih doyan nasi. Tapi pernikahan yang satu ini. Menikahkan mayat. Sebuah pencapaian sejarah tertinggi dalam karir kepenghuluannya. 

Kiai Badrun membuka peti jenazah, seakan ingin memastikan kalau keduanya memang benar-benar mati. Lama ia memandang wajah keduanya, sepasang mayat yang berhimpitan. Ini adalah bukti "Cinta Sampai Mati" tak hanya ada dalam omongan gombal para lelaki pemangsa wanita. Kali ini ia benar-benar menyaksikannya. Semakin ia menatap wajah keduanya ia semakin ragu untuk mensahkan pernikahan keduanya seandainya Badrun benar-benar mengucapkan akad pernikahan. Badrun duduk berjongkok di bawah pohon kamboja. Tangannya mengepal tanah basah menjadi bulatan. Ia mendekati keranda sembari melempar tanah bulatan itu. 

"Bangun,..., bangun.. kalian tidak mati." "Sampeyan edan, Pak. Orang mati malah dilempari."

Kunto, Suami Rini mencengkeram tangan Badrun. 

"Kalian yang gila. Jelas-jelas sudah mati masih disuruh nikah."

"Kowe sing edan." 

Pentakziah tercengang seakan berpikir siapa yang benar-benar gila. Atau mereka yang mau mengahadiri pernikahan sekaligus pemakaman itu yang harus mendapat predikat gila, atau mayat sepasang kekasih itu? 

****   

Kematian tak ubahnya air bah yang mampu menghempaskan jembatan kenangan antara Anggita dengan ayahnya. Tak ingin ia meratapinya. Seumur hidup belum pernah ia berdamai dengan kematian, kehilangan juga kesendirian. 

Belum pernah keluarganya meninggal. Kakek dan neneknya sudah lama meninggal sebelum Gita lahir. Ketika ayahnya mati malam tadi Gita merasa sendiri. 

"Boleh aku ikut Bapak?" ucap Anggita menyambut kedatangan kekasihnya, Leksono. 

Lelaki muda itu tak menjawab. Leksono mengkhatamkan surat Yasin untuk calon mertuanya. Matanya menahan kesedihan melihat mayat yang terbaring di ruang tengah. Barangkali kesedihan yang mendalam membuat Gita berbicara ngawur. 

"Aku ingin mati."

"Kita menikah dulu" 

"Aku ingin mati bersamamu."

Leksono terdiam, membaca mata Anggita. 

"Janji untuk menikah denganmu di hadapan bapak sudah tak mungkin. Hanya dengan satu cara. Menyatu dengan dunia bapak." 

"Kamu gila apa?" Leksono menatap marah kepada kekasihnya. 

"Aku tak gila. Aku sudah terlanjur berjanji akan menikah di hadapan bapak. Kita akan melewati malam pertama di ranjang tanah pekuburan. Kau keberatan?" 

"Di kuburan gelap kalau malam." 

"Gelap malah asyik kan?" 

Terpejam mata keduanya. Sambil merapal mantra kepada malaikat pencabut nyawa. Ila hadrati malaikat al mauti al Izrail , Al fatihah...

Mata terpejam. Berhentilah detak jantung. Terputuslah nafas keduanya. 

**** 

Bumi Mangkuyudan, 19 Desember 2009 

 

Keterangan : *) Pagar Ayu : para gadis yang belum menikah berusia di atas 17 tahun bertugas untuk menyambut rombongan sang pengantin dan berjajar sepanjang jalan menuju pelaminan (adat pernikahan di Jawa) 

**) Mulasara mayit (jw. ): merawat mayat. ***) Brobosan : Brobos = menerobos, sebuah tradisi kematian dalam adat jawa, sebagai ungkapan perhormatan terakhir dari keluarga yang hidup kepada saudara yang meninggal. 

****) Ila hadrati malaikat al mauti Al Izrail , Al fatihah.. : Kepada hadirat Malaikat Maut, Izrail, Al Fatihah..(terj.), sebuah Doa persembahan kepada malaikat pencabut nyawa untuk segera mencabut nyawa, tanpa bunuh diri.  

Dok. TBJT
Dok. TBJT
Catatan: Cerpen Ranjang Tanah adalah karya Miftahul Abrori. Pernah tayang di buletin Littera Edisi Oktober - November  terbitan Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) tahun 2010.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun