Dana Rp200 Triliun Ditempatkan di Bank Himbara
Tak lama sebelumnya, pemerintah juga menggelontorkan dana Rp200 triliun dari Sisa Anggaran Lebih (SAL) ke lima bank Himbara. Tujuannya: memperkuat likuiditas dan mendorong penyaluran kredit ke sektor riil.
Namun, data menunjukkan:
- Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (DPK) melonjak di atas 20% Â
- Pertumbuhan kredit hanya 7%, sementara dana yang belum disalurkan naik 9,5% Â
- Artinya, likuiditas tinggi belum tentu berarti kredit mengalir ke pelaku usaha
Tiga Pertanyaan yang Tak Boleh Diabaikan
Di tengah euforia pasar dan gelontoran kebijakan fiskal, ada tiga pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama.
Pertama, apakah insentif devisa yang sedang disiapkan pemerintah benar-benar akan mendorong masuknya dolar ke dalam negeri? Secara teori, potensi itu ada, terutama jika insentifnya cukup menarik dan berbasis pasar.Â
Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada tingkat kepercayaan pelaku ekonomi terhadap stabilitas kebijakan dan transparansi eksekusinya. Tanpa itu, insentif hanya akan menjadi retorika stabilisasi yang tak berakar.
Kedua, kita perlu bertanya: apakah devisa yang masuk dan dana Rp200 triliun yang ditempatkan di bank-bank Himbara akan benar-benar mendukung sektor produktif?Â
Tanpa mekanisme penyaluran yang jelas dan keberpihakan yang tegas, dana besar ini berisiko hanya memperkuat neraca institusi keuangan besar, bukan mengalir ke warung, ladang, atau bengkel rakyat. Grafik bisa naik, tapi denyut ekonomi tetap datar.
Dan ketiga, apakah pelaku usaha kecil akan merasakan dampaknya? Mungkin saja, jika stabilitas nilai tukar berhasil menekan harga bahan baku impor dan jika likuiditas perbankan benar-benar diterjemahkan ke dalam akses pembiayaan yang lebih murah dan inklusif.Â
Tapi itu hanya bisa terjadi jika ada kebijakan turunan yang menghubungkan stabilitas makro dengan inklusi mikro. Tanpa jembatan itu, pelaku usaha kecil tetap berada di pinggir layar ekonomi.