Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia menembus angka psikologis 8.000 poin. Di akhir pekan, IHSG bahkan ditutup di level 8.051,11, rekor tertinggi sepanjang masa.Â
Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya angka. Tapi bagi banyak pihak, ini adalah sinyal: bahwa kepercayaan terhadap arah ekonomi Indonesia sedang menguat.
Namun, pertanyaannya tetap menggantung: Â
Apakah grafik yang naik ini benar-benar menyentuh kehidupan rakyat?
Grafik Naik, Tapi Apakah Ekonomi Bergerak?
Kenaikan IHSG didorong oleh berbagai faktor:
- Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia ke 4,75% Â
- Ekspektasi pelonggaran suku bunga oleh The Fed Â
- Reshuffle Kabinet yang memberi sinyal stabilitas Â
- Kinerja positif emiten sektor teknologi, konsumer, dan perbankan
Volume transaksi harian mencapai Rp69,5 triliun, dan investor asing mencatat net buy jumbo senilai Rp2,87 triliun. Ini menunjukkan bahwa pasar modal sedang bergairah. Tapi gairah pasar belum tentu berarti denyut ekonomi rakyat ikut bergerak.
Pemerintah Siapkan Insentif Tarik Dolar
Di saat IHSG melonjak, Menteri Keuangan Purbaya Yudha Sadewa mengumumkan rencana insentif untuk menarik dolar dari luar negeri ke dalam sistem perbankan nasional.Â
Targetnya adalah eksportir besar, BUMN, dan diaspora ekonomi yang menyimpan dana di luar negeri.
Skema insentif yang sedang digodok mencakup:
- Relaksasi pajak atas dana repatriasi Â
- Kemudahan konversi dan penempatan valas di bank nasional Â
- Imbal hasil khusus bagi pemilik dana luar negeri
Tujuannya jelas: memperkuat cadangan devisa dan menjaga stabilitas rupiah tanpa intervensi agresif dari Bank Indonesia.
Dana Rp200 Triliun Ditempatkan di Bank Himbara
Tak lama sebelumnya, pemerintah juga menggelontorkan dana Rp200 triliun dari Sisa Anggaran Lebih (SAL) ke lima bank Himbara. Tujuannya: memperkuat likuiditas dan mendorong penyaluran kredit ke sektor riil.
Namun, data menunjukkan:
- Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (DPK) melonjak di atas 20% Â
- Pertumbuhan kredit hanya 7%, sementara dana yang belum disalurkan naik 9,5% Â
- Artinya, likuiditas tinggi belum tentu berarti kredit mengalir ke pelaku usaha
Tiga Pertanyaan yang Tak Boleh Diabaikan
Di tengah euforia pasar dan gelontoran kebijakan fiskal, ada tiga pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama.
Pertama, apakah insentif devisa yang sedang disiapkan pemerintah benar-benar akan mendorong masuknya dolar ke dalam negeri? Secara teori, potensi itu ada, terutama jika insentifnya cukup menarik dan berbasis pasar.Â
Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada tingkat kepercayaan pelaku ekonomi terhadap stabilitas kebijakan dan transparansi eksekusinya. Tanpa itu, insentif hanya akan menjadi retorika stabilisasi yang tak berakar.
Kedua, kita perlu bertanya: apakah devisa yang masuk dan dana Rp200 triliun yang ditempatkan di bank-bank Himbara akan benar-benar mendukung sektor produktif?Â
Tanpa mekanisme penyaluran yang jelas dan keberpihakan yang tegas, dana besar ini berisiko hanya memperkuat neraca institusi keuangan besar, bukan mengalir ke warung, ladang, atau bengkel rakyat. Grafik bisa naik, tapi denyut ekonomi tetap datar.
Dan ketiga, apakah pelaku usaha kecil akan merasakan dampaknya? Mungkin saja, jika stabilitas nilai tukar berhasil menekan harga bahan baku impor dan jika likuiditas perbankan benar-benar diterjemahkan ke dalam akses pembiayaan yang lebih murah dan inklusif.Â
Tapi itu hanya bisa terjadi jika ada kebijakan turunan yang menghubungkan stabilitas makro dengan inklusi mikro. Tanpa jembatan itu, pelaku usaha kecil tetap berada di pinggir layar ekonomi.
Rekomendasi untuk Kebijakan yang Menyentuh
- Salurkan sebagian dana melalui BPR/BPRS dan koperasi produktif Â
- Wajibkan bank penerima dana untuk menyalurkan kredit ke UMKM Â
- Pastikan ada transparansi dan strategi keluar agar dana tidak mengendap Â
- Integrasikan kebijakan fiskal dan moneter agar IHSG, devisa, dan dana Rp200T saling mendukung
Penutup: Dari Layar ke Ladang, Dari Grafik ke Gerak
IHSG boleh mencetak rekor. Dana Rp200 triliun boleh digelontorkan. Devisa boleh ditarik masuk. Tapi pertanyaannya tetap: Â
Apakah rakyat ikut bergerak?
Apakah warung di kampung mulai ramai karena harga bahan baku impor stabil? Â
Apakah ladang di pelosok mulai subur karena pupuk dan alat produksi lebih terjangkau? Â
Apakah bengkel kecil di pinggir jalan mulai berani menambah tenaga kerja karena akses pembiayaan makin mudah?
Tanpa kebijakan turunan yang menghubungkan stabilitas makro dengan inklusi mikro, semua sinyal itu hanya berputar di layar, bukan di lapangan. Â
Rakyat tetap menonton, bukan ikut menari. Mereka tetap berada di pinggir layar ekonomi, menunggu giliran yang tak kunjung datang.
Yang dibutuhkan bukan hanya angka, tapi arah. Â Bukan hanya dana, tapi daya. Â Dan bukan hanya devisa, tapi keputusan yang menyentuh.
Jika rakyat ikut bergerak, maka ekonomi bukan hanya tumbuh, ia hidup. Â
Dan jika ekonomi hidup, maka harapan bukan hanya wacana, ia nyata.
Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)
Bintaro Jaya -- 22 September 2025
_____________________
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI